SUARA PEMBACA

Apa Urgensi Rekonsiliasi?

Rekonsiliasi makin santer untuk segera diwujudkan. Prabowo berada di persimpangan. Pendukung tetap teguh pendirian. Tidak ada rekonsiliasi. Tak ada toleransi untuk rezim zalim. Begitulah ratapan emak-emak kepada Prabowo. Mereka berharap Prabowo tak melunak hanya karena desakan dari berbagai pihak. Lebih tepatnya pihak pemenang. Sikap represif rezim yang terlalu kentara membuat luka menganga sulit untuk disembuhkan.

Kriminalisasi terhadap tokoh oposisi baik kalangan ulama, ormas, maupun aktivis memang terlalu sering diperlihatkan. Alhasil, rekonsiliasi pasca pemilu akhirnya berjalan alot. Sebab, luka rakyat tak mudah dihapus. Kekecewaan menelan janji pahit sulit rasanya untuk diabaikan begitu saja.

Rekonsiliasi mengalami tarik ulur. Tak ucapkan selamat pada pemenang dianggap tak legowo dengan keputusan. Tidak jantan menerima kekalahan. Kalah menang itu biasa. Namun, yang menjadikan hal itu luar biasa adalah sikap ‘semau gue’ penguasa yang dipertontonkan selama 5 tahun memerintah. Bukannya menyatukan, malah memecah belah. Bukannya menyejahterakan, malah menyengsarakan. Bukannya amanah, malah khianat. Kebijakannya tidak memihak rakyat, malah menguntungkan penjajah. Inilah diantara sebab rakyat ogah rekonsiliasi.

Ada baiknya di masa pemerintahan Jokowi mendatang disediakan kaca besar di setiap kementerian dan Istana Kepresidenan. Sebagai pengingat untuk tidak tinggi gunung seribu janji. Lain lisan lain pula amal. Menepati janji sebagaimana isi kampanye sebelumnya. Jangan hanya sibuk berebut kue kekuasaan. Lalu lupa diri dengan kepentingan rakyat. Janji itu harus ditepati. Karena ia utang yang dibawa mati jika tak ditepati. Rakyat pasti menagih. Mereka tak akan diam jika melihat pemimpin-pemimpinnya mendadak lupa ingatan.

Rekonsiliasi memang dibutuhkan. Agar negeri ini tak gaduh gegara beda pilihan. Asalkan…. Pertama, hapus monsterisasi dan kriminalisasi terhadap ajaran Islam, ulama, dan umatnya. Jangan ada lagi narasi dan tudingan andalan semacam teriakan anti pancasila, anti NKRI, radikal, makar dan sebagainya. Kedua, tegakkan keadilan. Jangan tebang pilih. Hukum berlaku bagi siapapun. Namun, di rezim ini hukum dijadikan alat pukul. Maka wajar bila rakyat menuntut keadilan seadil-adilnya. Sebab, negeri ini bukan milik penguasa. Kemerdekaannya atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Ketiga, Jadilah pemimpin yang amanah. Taat pada Allah dan RasulNya. Tak ada pahala yang lebih besar selain menjadi pemimpin bijaksana, amanah, dan bertakwa. Namun, tak ada pula dosa terbesar melebihi pemimpin yang suka menipu rakyat, berlaku culas, dan berbuat zalim.

Rekonsiliasi sejatinya hanya bisa dilakukan tatkala negeri ini merombak total sistem yang diterapkan. Memulihkannya dari virus sekuler-liberal. Mengobatinya dari kemaksiatan yang kerap bergentayangan. Mengembalikannya pada jati diri oleh siapa negeri ini diberi. Yakni, Sang Pemberi kehidupan, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengatur negeri berdasarkan perintah Ilahi. Agar keberkahan menaungi. Pemimpinnya dirahmati, rakyat mensyukuri. Kembalikan Islam pada tempatnya sebagai pengatur kehidupan manusia. Agar tak ada lagi manusia bejat moral yang merusak tatanan alam. Itulah rekonsiliasi hakiki. Wallahu a’lam.

Chusnatul Jannah
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button