OPINI

Aroma Ketidakadilan di Balik UU ITE

Kasus Baiq Nuril hingga kini masih menyita perhatian. Diketahui publik, Baiq Nuril merupakan pegawai honorer pada bagian tata usaha SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Korban pelecehan seksual secara verbal yang dilakukan oleh Muslim, mantan kepala sekolah tempatnya bekerja.

SAFENet, lembaga yang mendampingi Baiq Nuril menjelaskan kronologi hingga ia terjerat kasus. Melalui Twitternya, SAFENet menjelaskan pelecehan seksual yang dialami Baiq Nuril bukan hanya sekali. Baiq Nuril sering kali menerima telepon dari sang Kepala Sekolah yang bernada melecehkan. Bahkan Baiq Nuril beberapa kali diajak menginap di hotel.

Sayangnya, keberanian Baiq Nuril merekam percakapan yang dilakukan oleh Muslim, berbuntut pada kasus dugaan pelanggaran UU ITE . Padahal Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Baiq Nuril tidak bersalah.

Ia tidak terbukti menyebarkan percakapan tersebut. Bahkan semua saksi ahli mengatakan jika tuduhan atas Baiq Nuril mentransfer, mendistribusikan, atau menyebarkan rekaman percakapan asusila sama sekali tidak terbukti. Saksi juga mengatakan Baiq Nuril tidak bersalah sama sekali.

Namun, saat itu jaksa mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Baiq Nuril didakwa melakukan pelanggaran Pasal 27 Ayat 1 jo Pasal 45 Ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Mahkamah Agung juga mengabulkan permohonan kasasi Penuntut umum kepada Kejaksaan Negeri mataram dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Mataram yang sebelumnya menyatakan Baiq Nuril bebas. Dalam putusan kasasi tersebut, Baiq Nuril dinyatakan telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana ITE dan terancam pidana penjara enam bulan kurungan penjara serta denda Rp 500 juta. Bila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.

Aroma Ketidakadilan dalam Demokrasi

Baiq Nuril adalah gambaran mutakhir ketidakadilan hari ini. Bagaimana hukum bisa dipermainkan untuk menginjak bahkan membungkam kaum papa. Bagaimana keadilan menjadi hal yang mahal harganya. Di negeri Dilan seorang korban dengan mudahnya menjadi terdakwa. Siapa yang tak geram menyaksikan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah?

Sungguh nyata demokrasi telah melahirkan produk undang-undang yang rentan disalahgunakan. Pasal karet dalam UU ITE telah membawa Baiq Nuril dalam ancaman jeruji besi. Menjadi ironi di negeri ini, UU ITE kerap dipakai mereka yang berkuasa untuk membungkam keluh dan kritik dari mereka yang teraniaya.

Baiq Nuril tidak sendiri. SAFEnet mencatat ada sekitar 381 orang yang tercatat menjadi korban UU ITE. Menurut Wakil Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), para korban ini tergabung dalam PAKU ITE dan menariknya, 85 persen diantaranya adalah korban dari konflik atasan dan bawahan. Masih menurutnya, UU ITE menelan banyak sekali korban, khususnya wanita. Sedihnya, UU ITE yang bertujuan untuk melindungi WNI ini malah menyerang WNI. Orang tidak bisa suarakan kebenaran, bela diri, dikit-dikit kita kritik bisa dibalik untuk kriminalisasi kita.

Rudi menambahkan hak berpendapat telah dibungkam oleh UU ITE. Sehingga ia memandang UU ITE tak perlu direvisi tetapi langsung dihapus saja. UU ini tak hanya melanggar HAM berpendapat tapi juga telah menjadi alat penguasa menekan yang lemah (cnnindonesia.com, 15/11/2018).

Hampir senada dengan Rudi, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara menilai, sejak awal kemunculan UU ITE tersebut sudah bermasalah. Terutama pada pasal 27 ayat 1 itu kerap dijadikan pembungkaman kebebasan berekspresi. Pada kasus Baiq Nuril yang seharusnya menjadi korban, malah justru dikriminalisasi. Kasus serupa juga pernah menimpa Wisniati, ibu rumah tangga di Bandung pada tahun 2009.

Anggara bahkan mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk segera merevisi ketentuan pasal karet dalam UU ITE. Sebab bukan tidak mungkin kasus-kasus lain yang dialami Nuril sebagai korban pelecehan seksual akan kembali terjadi (jawapos.com, 16/11/2018).

Korban UU ITE tak hanya rakyat biasa tapi juga para tokoh yang kritis terhadap rezim. Sebutlah Asma Dewi, Jonru Ginting hingga yang terbaru Ahmad Dani. Tampak nyata UU ITE tak hanya digunakan orang yang berkuasa untuk membungkan kaum papa. Tapi juga alat penguasa (rezim) untuk membungkam penyuara kebenaran yang kritis dan vokal terhadap kebijakan zalim penguasa.

Inilah fakta miris demokrasi. Undang-undang dibuat bukan untuk menopang keadilan. Sebaliknya disalahgunakan untuk membenarkan ketidakadilan. Menjadi ancaman bagi penyuara keadilan dan kebenaran. Publik pun dihantui ketakutan untuk bersuara lantang. Sebab sedikit keluh dan kritikan dapat berbuah penjara.

Keluh dan kritikan tak lagi ditanggapi secara bijak, sebaliknya dianggap fitnah dan pencemaran. Hukum akhirnya menjadi milik yang berkuasa dan penguasa. Sebab pasal karet telah membuat penegakan hukum menjadi mandul. Lagi-lagi para elit, yang berharta dan yang berkuasa yang diuntungkan.

Jika demikian lalu pada siapa lagi rakyat mengadu ketika aroma ketidakadilan begitu menyengat?

Indahnya Keadilan Islam

Menyikapi hal ini, patutlah kita mengingat dan merenungi tentang indahnya keadilan di bawah naungan Islam. Bagaimana keagungan Islam menjunjung tinggi keadilan. Ini terukir dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya”.

Ketika menjelaskan hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata, ”Inilah keadilan”. Inilah penegakkan hukum Allah Ta’ala, yaitu bukan atas dasar mengikuti hawa nafsu.

Keadilan hukum Islam yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu’alayhi wa Sallam juga diikuti oleh para Khulafaur Rasyidin. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, sejumlah Muslim menyerobot tanah yang dimiliki oleh seorang Yahudi dan mendirikan masjid di atas tanah tersebut. Ini jelas melanggar hak Yahudi tersebut sebagai ahlu dzimmah. Umar kemudian memerintahkan agar masjid tersebut dirubuhkan dan tanah tersebut dikembalikan pada orang Yahudi tersebut.

Dalam kasus lainnya, pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, seorang Yahudi mencuri baju zirah milik Khalifah. Sang Khalifah kemudian mengadukan Yahudi tersebut ke pengadilan dan membawa puteranya sebagai saksi. Hakim menolak gugatan sang Khalifah, dan menyatakan bahwa seorang anak tidak dapat dijadikan saksi dalam perkara yang melibatkan ayahnya di pengadilan. Setelah menyaksikan keadilan tersebut, si Yahudi kemudian mengaku bahwa ia memang mencuri baju tersebut dan kemudian memeluk Islam.

Ya, begitulah seharusnya keadilan ditegakkan. Digali berdasarkan bukti dan saksi tanpa mengaburkan kebenaran. Dibangun dengan hukum yang adil, tanpa memandang agama, bangsa, jenis kelamin, etnis, golongan, rasa dan suku. Entah rakyat biasa maupun penguasa akan mendapatkan perlakuan sama di hadapan hukum jikalau aturan Islam diterapkan secara kaaffah. Kemaslahatan akan diraih, kebaikan akan dipetik dan keadilan akan ditegakkan.

Maka, untukmu para pemilik kunci-kunci kekuasaan bersikap adillah! Karena adil mendekatkanmu kepada takwa. Dan ingatlah bahwa Allah Ta’ala telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8)

Hanya Islam yang mampu menjamin bahwa di masa datang tiada lagi Baiq Nuril yang lain. Sebab dalam demokrasi tak ada jaminan kasus Baiq Nuril tak akan terulang. Dengan nama, orang dan tempat yang berbeda tapi dengan kasus yang sama. Maka bukan pilihan cerdas bagi akal waras kita untuk terus bertahan dalam aroma ketidakadilan sistem bobrok ini. Saatnya kita merasakan nikmatnya aroma keadilan dalam sistem Islam saja!. Wallahu’alam bishshawwab.

Ummu Naflah
Pengajar, Pemerhati Perempuan

Artikel Terkait

Back to top button