OPINI

Balada Demokrasi Amplop

Apel delapan belas miliar belum juga usai diperbincangkan. Kini publik dikejutkan dengan kasus amplop delapan miliar. Dilansir dari tempo.co, 28/3/2019, KPK menetapkan anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Bowo Sidik Pangarso sebagai tersangka perkara dugaan suap pelaksanaan kerjasama antara PT. Pupuk Indonesia Logistik dengan PT. Humpuss Transportasi Kimia (HTK).

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan menyebut uang suap yang diterima Bowo digunakan untuk serangan fajar pada hari pencoblosan Pemilu 2019, 17 April. Dalam konferensi pers, KPK juga memperlihatkan tumpukan kardus berjumlah 84, yang berisi uang dalam amplop bernilai total sekitar delapan miliar. Adapun uang itu dibagi dalam pecahan Rp50 ribu dan Rp20 ribu.

Bowo Sidik Pangarso diketahui tercatat sebagai calon legislatif atau caleg Partai Golkar daerah pemilihan Jawa Tengah II yang meliputi Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, dan Kabupaten Demak. Serangan fajar ini diduga untuk membeli suara pemilih agar Bowo terpilih kembali sebagai wakil rakyat.

Serangan fajar istilah yang tak asing lagi di tengah hawa panas suhu politik. Bahkan menjadi budaya yang normal terjadi di setiap episode kontestasi politik. Politik uang yang lazim terjadi untuk membeli suara rakyat. Semata-mata demi meraih tampuk kekuasaan dalam lembah hitam demokrasi.

Demokrasi amplop menggejala mulai dari level bawah hingga level elite politik. Kasus Bowo Sidik hanyalah salah satu bukti dari fenomena demokrasi amplop hari ini. Rendahnya kesadaran politik masyarakat membuat para caleg menempuh cara instan. Sementara di satu sisi, pertarungan sengit merebutkan suara rakyat menjadikan para caleg tak dapat menempuh cara lain selain money politic. Cara instan, tetapi hitam. Teladan buruk di tengah iklim demokrasi yang kian terpuruk.

Padahal fakta berbicara, tak sedikit uang yang dikeluarkan untuk ongkos demokrasi amplop. Surabayapagi.com (30/3/2019), menyebutkan di Dapil Surabaya-Sidoarjo, seorang caleg membutuh hingga Rp20 miliar untuk lolos ke Senayan dengan rata-rata sogokan Rp100 ribu per suara. Angka yang fantastis demi seonggok kursi di Senayan.

Hal ini pun diungkapkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz dalam ILC, 2/4/2019. Ia mengatakan faktor yang membuat terjadinya politik uang tak lain adalah biaya politik yang mahal. Ini pula yang membuat para elit politik masih kesulitan keluar dari lingkaran setan money politic. Maka, menjadi hal yang tak mengherankan pula, jika mahalnya ongkos demokrasi inilah, yang membuka celah bagi para caleg terpilih untuk menyuburkan budaya korupsi/suap.

Luhut memberi amplop kepada seorang kyai setelah meminta dukungan untuk Pilpres.

Demokrasi memang tak menjadikan halal dan haram sebagai standar perbuatan. Hanya syahwat kekuasaan yang dikedepankan. Maka, masifnya money politik/praktik suap-menyuap menjadi lumrah dalam demokrasi. Mirisnya, ini menjadi hal yang dipandang normal di tengah masyarakat hari ini. Padahal hal yang normal tersebut mengundang laknat Allah Ta’ala. Na’udzubillah min dzalik.

Budaya amplop dalam demokrasi sejatinya budaya suap yang jelas keharamannya. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Hakim, dan Ahmad).

Dalam redaksi yang lain, diriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya.” (HR. Ahmad).

Dari hadits di atas dengan sangat jelas Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam melaknat praktik suap-menyuap. Di satu sisi sebagai larangan dan peringatan keras kepada siapa saja dan institusi apa pun di tengah masyarakat, untuk tidak melakukan praktik suap-menyuap.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button