SUARA PEMBACA

Banjirnya Impor Baja China, Petaka Bagi Bangsa

Pembangunan infrastruktur Indonesia digenjot habis-habisan di bawah kepemimpinan Jokowi. Proyek jalan tol, pengadaan kereta cepat, juga pengesahan jalur sutera OBOR (One Belt One Road) dengan China ikut menambah panjang deretan.

Alih-alih pembangunan infrastruktur akan berimbas pada meningkatnya produktivitas bahan baku seperti baja, yang dihasilkan masal oleh PT Krakatau Steel, Tbk. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Perusahaan milik negara yang telah lama beroperasi ini kini digadang-gadang tengah menunggu masa gulung tikarnya. Omsetnya menurun tajam selama tujuh tahun terakhir, per Desember 2018 perusahaan ini mencatat rugi bersih sebesar US$4,85 juta atau ekuivalen dengan Rp68,45 miliar. Belum lagi nasib 1.300 karyawan organiknya yang akan di PHK secara bertahap, mulai 2019 hingga 2022 (lawjustice.com/27/06/2019).

Agresifnya pembangunan infrastruktur yang meniscayakan adanya baja tak serta merta menguntungkan Badan Usaha Milik Negara. Pasalnya, tak lain ditengarai dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja.

Permendag 22 Tahun 2018 dimanfaatkan pengimpor dengan mengubah Harmonied System (HS) number dari produk baja karbon menjadi alloy steel. Dengan kata lain, volume impor baja karbon menurun yang kemudian disubstitusi dengan naiknya impor baja paduan. Tujuannya tak lain agar mendapatkan bea masuk yang rendah (kumparan/9/01/2019).

Fenomena banjirnya pengaruh China dirasa makin merajalela. Namun, pemangku tahta Indonesia semakin mengamininya. Ini sebuah keironian nasib bangsa. Bukti nyata rezim neoliberal yang lebih berpihak pada Asing Aseng dibandingkan menjaga kemandirian anak bangsa.

Perkara industri berat seperti baja, bukanlah soal masalah jual beli semata. Ada hal yang diluputkan oleh negara, yaitu visi politiknya. Bahwa industri semacam ini seharusnya dipelihara dan diprioritaskan untuk memajukan terlebih dulu produk Indonesia. Negara abai bahwa kemajuan industri berat semacam baja merupakan satu di antara pilar untuk menjadi negara yang kuat.

Namun, begitulah potret rezim yang telah terkena jeratan Asing Aseng dan mengadopsi paham neoliberal, kemandirian bangsa pun rela tergadaikan. Kekuatan bangsa dikalahkan oleh derasnya dana investasi yang menjadikan kebijakan negara sarat kepentingan China.

Ini sangat kontras dengan pandangan Islam mengenai industri. Dari sisi sistem industri, perindustrian diarahkan untuk mampu mengatasi seluruh kebutuhan dari rakyat negara Islam, baik Muslim maupun non muslim, mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan vital negara, serta mampu membentuk kemandirian Negara dengan prinsip-prinsip sebagai berikut.

Pertama, sistem industri berjalan atas fondasi sistem ekonomi Islam dari sisi investasi maupun prinsip kepemilikan. Islam menetapkan bahwa sejumlah sumber daya alam tidak bisa dimiliki oleh individu, apalagi asing. Kepemilikannya adalah milik seluruh umat. Negara menjadi pengelolanya untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat.

Kedua, sektor industri vital harus dikuasai negara, seperti pertanian, farmasi, energi, transportasi, infrastruktur, dan sebagainya. Seluruh pembangunan industri harus dibangun dalam perspektif kemandirian. Tak boleh sedikit pun memberi celah yang akan membuat kita menjadi tergantung kepada orang-orang kafir, baik dari sisi teknologi (melalui aturan-aturan lisensi), ekonomi (melalui aturan-aturan pinjaman atau ekspor-impor) maupun politik. … Allah sekali-kali tak akan memberi jalan pada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa:141)

Ketiga, Industri tidak berorientasi ekspor, jika pada saat yang sama untuk berbagai kebutuhan yang mendasar rakyat harus mengimpor, kemampuan industri negara harus mampu memenuhi kebutuhan rakyat di dalam negeri terlebih dahulu.

Keempat, perindustrian juga dibangun atas dasar strategi dakwah dan jihad, defensif maupun ofensif, baik yang sifatnya non fisik maupun fisik. Seluruh industri yang ada, harus mampu dimodifikasi untuk menyediakan keperluan untuk jihad pada saat dibutuhkan. Industri alat-alat berat yang pada saat damai akan membuat kereta api atau alat-alat dapur, pada saat perang harus mampu dengan cepat disulap menjadi industri tank atau senapan otomatis. Kemampuan semacam ini pula yang dimiliki oleh setiap negara industri maju.

Begitulah seharusnya yang mesti dilakukan jika bangsa ini tak mau ditimpa petaka pengaruh China juga Amerika. Kemakmuran dan kemandirian akan terlaksana jika negara ini mau kembali lagi kepada konsep Islam yang mulia. Wallahu a’lam bishowab.

Ammylia Rostikasari, S.S.
(Komunitas Penulis Bela Islam)

Artikel Terkait

Back to top button