OPINI

“Dua Garis Biru”, Promosi atau Seks Edukasi?

“Dua Garis Biru” saat ini menjadi film bioskop yang sedang ramai dibicarakan. Pasalnya, film ini sempat menuai protes dari beberapa pihak pasca dirilisnya teaser trailer satu bulan yang lalu sebegai bentuk promosi.

Salah satunya adalah petisi yang digagas Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan Indonesia (GaraGaraGuru) agar film bergenre romansa remaja yang masih dalam tahap editing ini dikritisi ulang sebelum diloloskan sensor. Menurut mereka, ditinjau dari beberapa adegan, ada pesan implisit yang ingin diberikan kepada penonton dan dinilai bisa merusak generasi muda. Seperti penggambaran sepasang remaja berduaan di dalam kamar.

Namun, ternyata film ini tetap lolos sensor dan telah ditayangkan serentak di seluruh bioskop di Indonesia sejak tanggal 11 Juli lalu. Menurut Produser Chand Parwez bahwa film ini mendapat respon positif dari masyarakat. Terbukti seluruh tiket untuk penayangan perdana di semua kota di jawa habis dalam waktu singkat dan ada beberapa kota yang bahkan ditambahkan jadwal penayangannya dan masih tetap habis terjual tiketnya.

Beberapa pihak melihat bahwa film ini bermuatan seks edukasi. BKKBN misalnya, telah mengadakan acara nonton bersama dengan John Hopkins Center for Communication Program (JHCCP) dan Forum Genre Indonesia (FGI) bertujuan meningkatkan pengetahuan masyarakat, khususnya remaja terkait kesehatan reproduksi, penyiapan kehidupan berumah tangga dan penyiapan kehidupan bermasyarakat akan pentingnya kualitas SDM. Dari sisi BKKBN, film ini dianggap jadi media untuk menyebarkan kesadaran tentang perilaku berisiko remaja yang menjadikannya rentan mengalami pernikahan di usia dini, kehamilan tidak diinginkan dan terinfeksi penyakit menular seksual sehingga aborsi yang tidak aman (detikNews.com).

Saya cukup tercengang ketika mengetahui bahwa film ini dianggap sebagai sarana untuk edukasi seks. Pasalnya, edukasi seks yang telah dilakukan di lembaga pendidikan saat ini nyata tidak memberikan efek yang berarti untuk mencegah peningkatan seks bebas di kalangan remaja. Bahkan, secara nyata hari demi hari seks bebas semakin merebak di kalangan remaja kita, dengan segunung problematika ikutan akibat seks bebas ini semakin mengkhawatirkan. Jika dicerna lebih lanjut, edukasi seks yang ada selama ini justru memunculkan solusi-solusi pragmatis yang dianggap legal oleh remaja.

Misalnya berkenaan dengan pencegahan penyakit menular seksual yang merupakan salah satu materi yang diberikan pada seks edukasi maka dipromosikan dengan slogan ABCD. Slogan ini bila dijabarkan mengandung pesan bahwa jika remaja ingin selamat dari infeksi menular seksual salah satunya AIDS maka remaja solusinya adalah A (abtinensia) yakni tidak melakukan hubungan seksual. Jika tidak bisa solusi A maka bisa dicoba solusi B (be faithful) yakni setia pada satu pasangan. Jika tidak bisa B maka solusi adalah C (condom) bermakna jika tidak bisa setia maka bisa menggunakan kondom. Intinya boleh melakukan seks dengan siapa pun, dengan beberapa pasangan sekaligus, baik pasangan sejenis atau tidak sejenis asal menggunakan C tadi.

Dari sedikit contoh ini saja, bisa dibayangkan akan terbentuk adanya pemahaman bahwa melakukan seks itu adalah tidak masalah asal menggunakan pengaman C. Nyata, sejak digelontorkan program seks edukasi, bukannya menekan prevalensi seks bebas di kalangan remaja, tetapi justru semakin merebak seks bebas hingga saat ini kita bisa melihat sampai pada batas yang sangat mengkhawatirkan, bahkan bisa saya katakan dalam kondisi titik kritis. Lalu, pertanyaannya, apakah bisa keberhasilan program edukasi seks akan didongkrak dengan ajakan menonton film “dua garis biru” ini?.

Jika kita mau berfikir lebih mendalam tentang film garis biru ini, maka jelas tergambar bahwa film ini memberi pesan kepada penonton bahwa berpacaran boleh saja asal tidak sampai kebablasan. Kemudian, misal sudah kebablasan dan si cewek hamil maka tidak menjadi masalah asal si laki-laki mau bertanggung jawab. Maka ditonjolkan bagaimana atas nama cinta seolah kondisi apapun tidak menyurutkan kesetiaan dua sejoli. Hingga kemudian hamil di luar nikah tidak lagi menjadi hal yang tabu karena seks bebas adalah sebuah kewajaran dilakukan oleh muda mudi yang pacaran.

Nampak nyata bahwa dalam film ini, sudut pandang agama tidak lagi dijadikan sebagai tolak ukur dalam menghukumi sebuah perbuatan. Terlebih Indonesia adalah negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam seolah dituntun untuk tidak lagi menggunakan Islam sebagai syariat yang mengatur tata kehidupan dan digiring untuk mau menerima pandangan dari kebanyakan masyarakat. Jika masyarakat tidak menganggap hal tabu atau asusila maka boleh-boleh saja berpacaran, seks aman, hamil di luar nikah, dst.

Padahal, dalam pandangan Islam, perbuatan berpacaran dan hubungan seks adalah perzinaan yang merupakan salah satu dosa besar dan Islam memiliki sanksi keras bagi para pelakunya. Dalam Al-Qur’an surat An Nur (24) ayat 2 disebutkan bahwa: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allâh , jika kalian beriman kepada Allâh dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

1 2Laman berikutnya
Back to top button