SUARA PEMBACA

Jangan Menangis Wahai Petani Garam

‘Bagaikan sayur tanpa garam’ pepatah ini menggambarkan pentingnya garam dalam keseharian manusia. Selain sebagai bumbu masakan yang hampir harus selalu ada, garam dibutuhkan dalam banyak hal lainnya, seperti untuk mengawetkan makanan, pengusir ular, antiseptik dan lain sebagainya. Maka selama ada manusia, kebutuhan akan garampun akan senantiasa ada.

Bersyukur kita karena kita hidup di negara yang dikelilingi oleh laut, di mana garam dihasilkan secara melimpah. Hal ini juga menjadi anugrah tersendiri bagi orang orang yang hidup di daerah sekitar pantai yang mengais rezeki dari bertani garam. Bertani garam tentu sangat menguntungkan ‘harusnya’, karena meski harganya murah meriah, tetapi merupakan kebutuhan pokok yang dibutuhkan semua manusia. Oleh kerena itu seharusnya kehidupan para petani garam itu makmur dan sentosa.

Tapi pemandangan yang bertolak belakang yang malah kita saksikan hari ini. Para petani garam meradang, karena garamnya tak laku di pasaran. Harga garampun semakin anjlok, petani rugi banyak.

Wajar kalau kita bertanya, kok bisa? Bukankan kebutuhan akan garam itu begitu besar dan akan senantiasa besar? apalagi kalau kita mengikuti logika bertambahnya populasi penduduk, tentu kebutuhan akan garampun akan semakin meningkat.

Ada yang bilang karena manusia modern sekarang sudah semakin meninggalkan garam karena alasan kesehatan. Logika yang lucu. Berapa gelintir orang sih yang melakukan diet garam? Coba cek di dapur masing masing, pasti ada garam.

Lalu kenapa? Jawabannya karena kebijakan impor garam yang dilakukan pemerintah. Hal ini seperti yang dilansir dalam laman Republika.co.id terbit rabu, 3 Juli 2019 berjudul ‘Harga Garam Jabar Anjlok, Apgasi Salahkan Tata Kelola Impor’.

Ketua Asosiasi Petani Garam (Apgasi) Jawa Barat, M Taufik, menjelaskan, kondisi garam petambak yang tak laku terjual dan harganya jatuh itu tersebar di daerah sentra garam di Jabar, yakni Cirebon dan Indramayu. Adapun jumlahnya mencapai puluhan ribu ton. Garam yang menumpuk tersebut merupakan sisa produksi garam pada 2018.

Ironis sekali memang, di tengah pasokan garam yang melimpah pemerintah malah impor garam. Padahal pemerintah tahu betul kebijakannya itu akan sangat merugikan para petani garam lokal, tapi kenapa malah terus impor dan impor? Bukankah itu kejam namanya?

Apa pendapat anda tentang seorang ayah bejat yang menjual putri kandungnya karena tergiur pundi pundi rupiah, lalu dengan wajah pura pura sedih ia berkata, saya terpaksa melakukannya untuk membayar hutang yang banyak. Tentu anda akan sangat marah bukan?

Bukankah pemerintah harusnya menjadi pengayom rakyatnya, bukan malah jadi hyena pemangsa. Mengapa pemerintah justru begitu tak berdaya di hadapan asing? Di manakah posisi tawar kita? Kenapa kita tak memiliki kedaulatan ekonomi dan harus tunduk pada keinginan asing? Jawabanya karena pemerintah kita terlilit hutang luar negeri. Jangankan garam, kalau asing bilang pemerintah kita harus impor bonggol pisang tentu dilakukannya.

Ah, lalu di manakah satu nusa satu bangsa yang terus digembor gemborkan itu? Di mana perasaan senasib sepenangungan itu? Di mana ikatan nasionalisme yang katanya adalah jalan hakiki bagi terwujudnya cita cita bangsa ini? Cita cita untuk membangun negeri?

Kenapa malah yang terlihat justru ikatan itu begitu lemah? Yang tampak nyata adalah peristiwa makan dan di makan, yang kuat memakan yang lemah, yang berkuasa menginjak yang terbawah. Individualisme, ketamakan, kelicikan adalah pemandangan biasa. Lagi lagi rakyatlah yang menderita karena ulah penguasanya.

Ah jangan jangan kita terlalu lama lalai. Kita percaya begitu saja bahwa ikatan pemersatu yang ada hanya ikatan yang disebabkan persamaan bangsa dan tanah kelahiran. Tapi ternyata ikatan ini hanya muncul ketika ada penjajah saja, atau ketika batik kita di klaim negara tetangga. Tapi kalau tidak ada yang dianggap musuh bersama, mulailah saling memangsa satu sama lain. Kalau begitu layakkah ikatan ini? Kalau begitu pasti ada ikatan yang lebih layak untuk dijadikan ikatan pemersatu antar manusia? Tapi ikatan apakah itu?

Lihatlah pemandangan yang sangat menakjubkan ini. Beliau adalah khalifah Umar bin Khattab yang berkata saya akan menjadi yang pertama lapar dan terakhir kenyang. Beliau senantiasa mengutamakan rakyatnya, memastikan rakyatnya terpenuhi sandang, pangan dan papannya.

Tapi jangan anda merasa heran, bukankah Rasulullah saw adalah maha gurunya. Beliau sendiri yang mengajarkan pada Umar ketika Umar datang sedangkan nabi sedang tidur di atas pelepah kurma di rumahnya. Ketika beliau bangun tampaklah di pipinya bekas daun tersebut.

Jangan tanya bagaimana rakyatnya, masa itulah adalah masa sebaik baik masyarakat yang pernah ada. Mereka amat senang mengutamakan saudaranya daripada diri mereka sendiri, sehingga Allah memuji mereka di dalam Al quran. Tahukan anda apa ikatan yang ada di antara mereka ? Bukan ikatan kearaban, karena Bilal yang Habsyi pun tak kalah dimuliakan. Apalagi ikatan kesukuan atau ikatan lainnya. Tahukan anda ikatan apa itu? Itulah ikatan aqidah. Ikatan yang menjadikan negara Islam di masa lampau sebagai bangsa yang kuat dan di segani. Yang menjadi rahmat bagi semua mahluk, hewan , alam, manusia, yang muslim atau non muslim.

Seni Fitriyani, SS

Back to top button