OPINI

Ketika Komunikasi Dibatasi

Bagaimana bisa aku sedu sedan? Ini dada sudah mau pecah. Kalau kutahan, bisa rusak aku. (Naga Bonar).

Sesak terasa melihat nasib umat. Keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Inilah yang menjadi tuntutan umat. Melalui serangkaian aksi 21 dan 22 Mei lalu sebagai buntut dari ketidakpuasan masyarakat akan indikasi dugaan kecurangan Pemilu, yang akhirnya berujung ricuh. Hingga menyebabkan akses media sosial (medsos) dibatasi.

Kini topik pembatasan komunikasi melalui medsos, kembali muncul menjelang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menyampaikan, pihaknya bakal terus memantau konten-konten di medsos. “Kami akan memonitor terus. Kami berharap tidak ada eskalasi di dunia maya,” kata Menkominfo Rudiantara.(Jawapos, 6/6/2019)

Adapun berkas sengketa pemilihan presiden (pilpres) yang diajukan ke mahkamah konstitusi (MK) akan diregistrasi pada 11 Juni 2019. Jika seluruh proses selesai, maka hakim akan melakukan pembahasan pada 14 Juni dan gugatan diputus pada 28 Juni 2019. (Cnnindonesia.com, 5/6/2019).

Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menilai pembatasan akses media sosial pasca aksi 22 Mei mencekik hak kebebasan berekspresi netizen di Indonesia, atau internet throttling. Pencekikan akses internet ini berpotensi menjadi preseden buruk dalam menjamin hak kebebasan berekspresi di Indonesia.

Tidak hanya itu, ketika kominfo mengarahkan umat untuk kembali pada media mainstream, umat menolak. Revolusi informasi tak terelakkan. Dahulu umat berpikir sesuai arahan ‘headline’ media mainstream. Kini maraknya berita dan kemudahan akses dalam genggaman, mengalihkan rasa percaya umat kepada medsos ketimbang media mainstream yang tunduk pada arahan penguasa.

Dilema penguasa yang mengurusi umat berbasis sekularisme. Di satu sisi ingin menutup peredaran berita bohong atau kekerasan yang muncul mengiringi aksi. Di sisi lain, keputusan yang diambil semakin menambah panjang jarak kesenjangan antara umat dengan penguasa. Umat semakin tidak percaya. Buah dari tirani informasi.

Penguasa gagal memaksakan ide sekularisme pada umat yang semakin tinggi syu’ur Islamnya. Perang pemikiran menjadi-jadi. Memasuki era kebangkitan, medsos menyajikan tampilan Islam sesuai kebutuhan umat. Aktivis muslim bermunculan bak cendawan di musim penghujan. Dakwah bil qalam. Komunikasi melalui medsos digunakan untuk melumpuhkan pemikiran kufur.

Sebab jika dibiarkan, maka ide-ide rusak akan merangsek ke tubuh umat. Hal ini perlu diantisipasi. Terjadi seiring melesatnya era teknologi digital. Semakin tinggi kebutuhan untuk menjalin interaksi, mencari ilmu dan mendapatkan berita terbaru. Maka sejalan dengan itu, survey menunjukkan bahwa lebih dari separuh penduduk di Indonesia telah “melek” media sosial.

Pemakai media sosial di Indonesia merambah ke berbagai usia. Akan tetapi paling banyak berada pada rentang usia 18-34 tahun. Pengguna pria lebih mendominasi, di mana pada rentang usia 18-24 tahun, jumlahnya mencapai 18 persen, lebih unggul dari pengguna wanita dengan persentase 15 persen.(kompas.com, 4/2/2019)

Berdasarkan hasil riset Wearesosial Hootsuite yang dirilis Januari 2019 pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi. Sementara pengguna media sosial mobile (gadget) mencapai 130 juta atau sekitar 48% dari populasi.(katadata.co.id, 8/2/2019).

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button