SYARIAH

Memutus Gurita Korupsi di Indonesia

Kondisi tingkat korupsi di Indonesia diakui oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo masih dalam kondisi yang parah. Bahkan, saking parahnya, semua penyelenggara negara bisa saja ditangkap oleh lembaga antirasuah melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) ujarnya. Wakil ketua KPK, Saut Situmorang, juga mengatakan hal ini didasarkan pada perkiraan masih banyak korupsi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sementara nilai APBN pada 2019 lebih dari Rp2.165 triliun.

Upaya untuk mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia melalui pembentukan KPK dan Undang-undang terkait tidak menyebabkan para koruptor jera, bahkan makin menjadi. Melihat kondisi seperti ini, sangatlah miris dan menyedihkan. Padahal sejatinya Islam dengan sistemnya yang paripurna memiliki solusi tuntas untuk tindakan korupsi. Apa sebenarnya penyebab utama masalah korupsi, dan bagaimana Islam mencabut korupsi hingga ke akarnya? Lantas bagaimana sikap mahasiswa muslimah yang nota bene sebagai agen perubahan menghadapi persoalan ini?

Fakta mengguritanya kasus korupsi di Indonesia

Korupsi didefinisikan sebagai penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan tempat seseorang bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Sudarsono, Kamus Hukum, hlm. 231). Definisi lain menyebutkan korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga, teman, atau kelompoknya (Erika Revida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya, USU Digital Library, 2003). Kasus korupsi di Indonesia telah memasuki stadium 4 dan menggurita, sudah lama terjadi bahkan sejak orde baru (Syafii Ma’arif, merdeka.com, 30/12/2018). Tak dipungkiri, korupsi di Indonesia bagai gerbong kereta api yang susul menyusul tiada henti, belum selesai kasus korupsi yang satu telah muncul korupsi yang lain Masyarakat tentu tak akan lupa bagaimana mega skandal korupsi Bank Century menyita perhatian masyarakat luas, belumlah tuntas kasus Century Gate, masyarakat pun gempar dengan korupsi dana Hambalang, beberapa politisi dan pejabat menjadi korban dan harus rela menyandang gelar koruptor. Yang teranyar dan tak kalah fenomenal kasus korupsi E-KTP, kasusnya pun hingga kini masih bergulir.

Belum lagi kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah juga tak kalah memprihatinkan. Sejak Januari hingga pertengahan Juli 2018, terdapat 19 Kepala Daerah ditetapkan Tersangka oleh KPK (nasional.kompas.com, 19/07/2018). Berulang kali operasi tangkap tangan nyatanya tidak menciutkan nyali kepala daerah untuk meraup uang haram dari tindak pidana korupsi. Hingga saat ini, terdapat 98 kepala daerah yang sudah diproses oleh KPK dalam 109 perkara korupsi dan pencucian uang. “Selain melanggar sumpah jabatan, korupsi kepala daerah berarti mengkhianati masyarakat yang telah memilih secara demokratis,” ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/7/2018).

Korupsi bukanlah kriminalitas biasa sebagaimana kecurangan, pencurian atau perampasan hak yang dilakukan orang biasa. Pertama, korupsi adalah kejahatan yang melibatkan pemilik wewenang kekuasaan, pejabat Negara, anggota legislatif maupun pegawai Negara. Mereka adalah orang-orang terpilih yang selayaknya memiliki ‘kualitas istimewa’ dan patut menjadi teladan. Kedua, pencurian dan perampasan hak itu dilakukan terhadap harta Negara ataupun milik umum. Maka bisa dibayangkan betapa besar pengaruh korupsi ini terhadap kepentingan dan pemenuhan hak-hak rakyat, berapa pun besarnya harta yang dicurangi.

Berharap pada KPK dan ICW, akankah korupsi berakhir?

Begitu mengguritanya korupsi di Indonesia, banyak kalangan yang sangsi korupsi akan benar-benar bisa diberantas habis meski lembaga pemberantasan korupsi telah lama dirilis. KPK didirikan pada tahun 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri berdasarkan UU No 32/2002. Sejak KPK berdiri hingga hari ini, kasus korupsi tidak berkurang namun semakin bertambah. Selain itu dari sisi NGO, dibentuk pula Indonesia Corruption Watch atau disingkat ICW yang mempunyai misi untuk mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai aksi korupsi yang terjadi di Indonesia. ICW aktif mengumpulkan data-data korupsi para pejabat tinggi negara, mengumumkannya pada masyarakat dan jika perlu, melakukan gugatan class-action terhadap para pejabat yang korup. Upaya ICW dalam memberantas korupsi melalui edukasi, penguatan organisasi, advokasi dan sebagainya juga belum memperlihatkan tanda bahwa korupsi dapat diatasi.

Berbagai undang-undang juga sudah dibuat untuk memberantas korupsi, di antaranya UU No. 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, UU No. 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 dan UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun bagaimana hasilnya? Boleh dikatakan pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum memuaskan, jika tak bisa dikatakan gagal. Indonesia sudah berkali-kali menjadi juara negara paling korup di Asia. Transparency International membuat peringkat dari 180 negara dan menilai mana saja yang mempunyai potensi korupsi yang terbesar, dan tak berpotensi korupsi. Indikatornya ditunjukkan dengan skor skala 0 sampai 100. Tahun 2018, Indonesia mendapat skor 37 dan peringkat 96 negara terkorup dari 180 negara di wilayah Asia Pasifik (transparency.org).

Demokrasi penyebab utama korupsi

Dalam sistem Demokrasi yang berasaskan ideologi Kapitalis Sekuler, meniscayakan negara dipimpin dan dijalankan oleh orang-orang yang berintegritas minim. Karena kekuasaan untuk memimpin hanya bagi yang bermodal, entah modal pribadi ataupun dari para sponsor yang tentunya tidak gratis. Modal untuk berkuasa pun tidaklah murah.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button