LAPORAN KHUSUS

Merindukan Keadilan

Penegakan hukum di era Jokowi dinilai terburuk pasca reformasi. Hukum dijalankan sesuai kepentingan penguasa.

Indonesia adalah Negara hukum. Setiap warga Negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Tidak ada pengecualian bahkan pengistimewaan. Demikian konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945, mengatur.

Fiat justitia ruat caelum. Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh. Demikian diucapkan oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus, seorang Gubernur Romawi pada 43 SM.

Namun faktanya, empat tahun pemerintahan Jokowi, penegakan hukum yang adil bagai panggang jauh dari api. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Tajam ke kanan, tumpul kiri. Hukum ditegakkan terhadap aktivis gerakan Islam dan oposisi, sebaliknya hukum mandul saat pendukung rezim melakukan pelanggaran. Polisi sebagai aparat penegak hukum justru memfungsikan dirinya sebagai alat politik kekuasaan. Narasi-narasi hukum yang dibangun rezim bertentangan dengan akal sehat.

“Mereka yang tidak perlu melek hukum pun bisa punya pendapat yang sama, bahwa penegakan hukum terburuk setelah reformasi itu di zaman Jokowi ini,” ungkap Anggota Komisi III DPR Romo HR Muhammad Syafi’ie.

Buktinya?. Bertumpuk. Pangkal dari semua bentuk ketidakadilan rezim Jokowi ini dimulai dari kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, 27 September 2016 lalu.
Kala itu Ahok datang untuk meninjau program pemberdayaan budi daya kerapu. Ia mengatakan dalam sambutannya, program itu akan tetap dilanjutkan meski dia nanti tak terpilih lagi menjadi gubernur di Pilkada 2017, sehingga warga tak harus memilihnya hanya semata-mata karena ingin program itu terus dilanjutkan.

Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu. Kalau Bapak-Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak-Ibu,” katanya.

Rekaman video ini diunggah di saluran Pemprov DKI Jakarta. Pada 6 Oktober, seorang dosen lulusan Amerika Serikat, Buni Yani, mengunggah ulang video itu di akun Facebooknya, berjudul ‘Penistaan terhadap Agama?’. Maka meledaklah kemerahan umat, Ahok dinilai telah melakukan penistaan agama. Berbagai sikap, kecaman dan tuntutan dari tokoh-tokoh umat Islam disuarakan melalui media massa, tetapi tidak berpengaruh apa-apa.

Hingga pada akhirnya, gelombang unjuk rasa terpaksa dilakukan. Pada Jumat 14 Oktober 2016, massa berbagai ormas Islam berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta. Massa menuntut Ahok segera dihukum. Unjuk rasa yang diikuti puluhan ribu orang itu dianggap angin lalu, tak ada tindakan apapun kepada Ahok.

Unjuk rasa kedua digelar lagi pada Jumat 4 November 2016 di depan Istana Negara. Diikuti lebih dari sejuta orang. Demo di depan Istana Negara ini diwarnai dengan penyerangan secara membabi buta oleh aparat kepada massa umat Islam usai Isya’ di depan Istana. Beberapa mobil polisi terbakar. Ratusan orang tumbang kena serangan gas air mata hingga harus dilarikan ke beberapa Rumah Sakit di Jakarta. Satu peserta unjuk rasa meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusa

1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button