EDITORIAL

Mubaligh Plat Merah Ala Kemenag

Kemenag blunder, upaya menyusun 200 mubaligh terekomendasi justru berbuah kontroversi berkepanjangan. Seolah memecah belah, ada mubaligh plat merah ada yang dianggap radikal.

Harusnya Ramadhan yang dinanti-nantikan dan disambut suka cita oleh umat Islam, benar-benar dijadikan sebagai syahrul ibadah. Bulan yang tenang, khusyu’ dan kondusif bagi umat Islam untuk berpuasa, menjalankan shalat malam dan membaca Alquran. Namun, faktanya itu tidak terjadi. Awal Ramadhan tahun ini justru dimulai dengan kegaduhan. Tidak main-main, kegaduhan itu justru bersumber dari Kementerian Agama.

Tak ada hujan, tak ada angin. Tiba-tiba Kemenag merilis daftar 200 mubaligh terekomendasi. Jika diperhatikan, 200 nama itu sebagian besar adalah para tokoh Islam tingkat nasional dari ormas-ormas besar dan juga kalangan akademisi.

Yang membuat gaduh, dari 200 nama itu tidak dicantumkan nama-nama mubaligh yang selama ini telah bersemayam di hati umat. Mubaligh-mubaligh pilihan umat seperti Habib Rizieq Syihab, Ustaz Abdul Shomad, KH Tengku Zulkarnaen, dan juga dai-dai muda semacam Felix Siaw, Hannan Attaki, maupun Salim A Fillah tidak ada dalam daftar tersebut. Inilah yang menjadi penyebab kegaduhan.

Alhasil, tudingan pun dialamatkan. 200 nama yang dimasukkan disebut sebagai dai plat merah. Padahal dari 200 nama itu, tidak semuanya juga merupakan mubaligh pro penguasa. Ada sebagian yang dikenal sebagai tokoh mubaligh yang kritis dan bukan pendukung penguasa.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin membebarkan alasannya kenapa kementerian yang dipimpinnya sampai mengeluarkan daftar mubaligh tersebut. Lukman mengklaim pihaknya menerima banyak pertanyaan dari masyarakat terkait nama mubaligh yang bisa mengisi kegiatan keagamaan mereka.

“Selama ini, Kementerian Agama sering dimintai rekomendasi mubaligh oleh masyarakat. Belakangan, permintaan itu semakin meningkat, sehingga kami merasa perlu untuk merilis daftar nama mubaligh,” terang Menag di Jakarta, Jumat (18/05).

Karena masih pada tahap awal, Lukman beralasan baru 200 nama yang dirilis. Selanjutnya nama-nama itu akan bertambah. Menurut Lukman, daftar nama ini merupakan rilis awal yang dihimpun dari masukan tokoh agama, ormas keagamaan, dan tokoh masyarakat.

Terkait nama-nama yang masuk daftar, Lukman menyebut harus memenuhi tigra kritera yakni mempunyai kompetensi keilmuan agama yang mumpuni, reputasi yang baik, dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi.

Lukman juga mengklaim rilis daftar mubaligh itu sama sekali tidak ada muatan politik. Menurut dia, jika ada mubaligh dengan jutaan penonton di media sosial, tapi belum masuk dalam daftar, hal itu karena belum masuk dalam usulan.

“Itu bukti tidak ada motif politik di sini. Sama sekali tidak ada. Kalau kami berpolitik praktis, maka tentu kami hanya akan masukkan yang pengikutnya besar saja,” kata dia.

Minta Dicoret

Dari 200 nama yang didaftar oleh Kemenag, ternyata tidak semuanya dapat menerima. Beberapa mubaligh justru meminta namanya tidak dicantumkan.

Wakil Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat Ustaz Fahmi Salim, adalah orang pertama yang meminta supaya namanya dicoret dari daftar 200 mubaligh terekmondasi kemenag itu. Fahmi beralasan, dengan adanya nama dirinya dalam daftar tersebut akan berpotensi memunculkan syak wasangka dan ketidak percayaan kepada dai dan mubaligh.

“Intinya, saya meminta Sdr. Menteri Agama RI untuk mencabut nama saya dari daftar tersebut. Saya tak ingin menjadi bagian dari kegaduhan tersebut yang kontraproduktif bagi dakwah Islam di tanah air,” jelasnya sebagaimana tertulis di akun instagram @fahmisalimz.

Fahmi yang juga Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah beralasan, sebagai seorang dai dirinya tidak perlu formalitas pengakuan dari pihak manapun. Ia pun mengaku telah ikhlas namanya dicoret dari daftar pengisi tausiyah Ramadhan sekaligus kajian rutin bulanan di masjid lembaga Negara setingkat kementerian pada 2017 lalu.

Selain Fahmi, ustaz kondang pimpinan Pesantren Daarul Qur’an Ustaz Yusuf Mansur juga meminta dirinya untuk tidak dimasukkan ke dalam daftar tersebut. Yusuf Mansur merasa dirinya tidak pantas untuk dimasukkan.

“Satu saya biar bagaimana bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada panitia rilis tersebut. Pasti ada alasan penilaian. Tapi kedua sekaligus saya minta maaf. Bahwa sesungguhnya saya gak pantas, saya masuk. Sebab banyak aib, kesalahan, kelalaian, dosa, dan maksiat saya yang ditutupi oleh Allah. Karena itu saya mohon ampun dan mohon kawan mohonkan ampun buat saya kepada Allah,” ucapnya.

Uniknya, bukan hanya pada akhirnya ada yang meminta namanya dicoret, saking tidak telitinya Kemenag malah memasukkan nama mubaligh yang sudah meninggal dunia dalam daftar itu. Dr H Fathurin Zen, M.Si yang masuk nomor urut 68 ternyata sudah meninggal dunia pada September 2017 lalu. Persisnya, Guru SMAN 55 Jakarta itu telah meninggal pada 30 September 2017.

Blunder Besar

Reaksi keras menentang adanya rekomendasi mubaligh ini dating dari Ketua MPR Zulkifli Hasan. Zulkifli menyebut Kementerian Agama melakukan blunder.

“Kementerian Agama blunder, blunder besar,” kata Zulkifli usai menghadiri buka puasa bersama dengan masyarakat Jakarta Utara, di Jl. Enim Raya, Tanjung Priok, Ahad, 20 Mei 2018.

Zulkifli juga menyebut langkah Kemenag mengeluarkan daftar 200 mubaligh terekomendasi itu bisa menimbulkan perpecahan di masyarakat. “Seharusnya mempersatukan bukan memecah belah. Jadi di sini separuh diambil, separuh lagi dipijak. Tidak boleh begitu. Itu belah bambu namanya,” ungkap Zulkifli.

Jokowi, kata Zulkifli, selama ini pontang panting kesana kemari untuk menghapus kesan pemerintahannya tidak ramah terhadap ulama. Namun usaha setahun terakhir itu sirna seketika akibat ulah Menag Lukman.

Terkait sertifikasi ulama, Zulfikli juga mempertanyakan soal aturan pemimpin agama lain. “Nanti kalau ulama disertifikasi, pastur gimana, agama yang lain gimana,jadi menurut saya, ini blunder besar,” ujar Zulkifli. Karena itu Ketua Umum PAN itu meminta agar Kemenag mencabut dan meminta maaf.

Kritik paling tajam dilontarkan budayawan Betawi sekaligus mantan politisi PPP Ridwan Saidi. Ia mengingatkan bila dahulu Kantoor voor Inlandsche zaken di era pemerintahan kolonial Hindia Belanda, adalah pihak yang berwenang menetapkan seseorang boleh disebut sebagai haji dan mengenakan atribut haji atau tidak. Sama dengan sekarang, Kemenag menjadi pihak yang seolah-oleh memiliki kewenangan menetapkan seseorang layak menjadi mubaligh atau tidak.

Uniknya, jelas Ridwan, kebijakan Lukman ini sejatinya juga tidak jauh-jauh dari apa yang pernah dilakukan oleh ayahnya, KH Saifuddin Zuhri yang menjabat sebagai Menteri Agama di era Demokrasi Terpimpin. Menurut Ridwan, saat menjabat Menag, Saifuddin Zuhri pernah melarang 167 judul buku masuk ke pesantren-pesantren. Diantaranya adalah buku-buku karya Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy dan Buya Hamka.

“Jadi saya rasa ini melanjutkan saja. Putranya pak Saifuddin ini melanjutkan saja bapaknya. Ini persoalan gen,” kata Ridwan disambut ketawa hadirin di sebuah diskusi yang ditayangkan langsung stasiun televisi swasta nasional.

[shodiq ramadhan]

Artikel Terkait

Back to top button