SILATURAHIM

Sugeng Tindak Pak Cholil

“Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun… Telah meninggal dunia, orang tua kita, Bapak KH Cholil Badawi, pagi ini, jam 04.00 di rumah duka Magelang. Beliau pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPA, Ketua Dewan Dakwah, dan Ketua Pembina Dewan Dakwah, dan akan dimakamkan hari ini…”

Berita duka itu datang pagi tadi dari sahabat saya, Mas Aru Seif Asadullah, Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Islam, yang juga aktifis senior Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Sayang saya agak terlambat mengetahui kabar yang dikirimkan Mas Aru lewat Whatsapp messenger itu, karena baru saya buka setelah beres-beres kebun anggrek mini saya yang sedikit porak-poranda sehabis dihajar hujan tadi malam.

Begitu membaca kabar duka itu, saya langsung mengontak Mas Aru, dan menanyakan apakah dia akan berangkat melayat ke Magelang. Maksudnya kalau sudah berangkat ke bandara, saya minta tolong dipesankan dulu juga, lalu saya mengejar ke bandara. Tapi ternyata Mas Aru sedang sakit. “Tidak bisa. Kalau jalan gloyoran,” ujar putra tokoh Masyumi dari Madiun, yang sudah sejak tahun lalu punya keluhan di jantungnya itu.

Saya lalu mengontak sahabat saya yang juga murid Pak Cholil, Mas Dr Adian Husaini, dan adiknya Mas Nuim Hidayat. Mas Adian ternyata sedang melawat ke Thailand. “Nanti setelah di Indonesia saya ke Magelang,” ujar mantan wartawan Republika itu. Sementara Mas Nuim juga tidak bisa berangkat. “Aku juga lagi ngajar,” ujarnya. Kami dulu sering sama-sama sowan Pak Cholil ketika masih tinggal di rumah dinas Wakil Ketua DPA di Kemang, kemudian di Pejaten Timur, lalu di rumah menantunya di KPAD Bulak Rantai. Kami juga pernah sama-sama sowan ke rumah Pak Cholil di Magelang.

Karena tak ada kawan berangkat bersama untuk melayat Pak Cholil ke Magelang, saya mencoba mengontak ticketing pesawat keberangkatan dari Bandara Halim Perdanakusumah. Tapi ternyata flight pagi hingga siang ini sudah fully booked semua. Saya lalu meminta kakak saya yang tinggal di Magelang untuk sowan ke rumah beliau di belakang Masjid Besar Kauman Magelang, untuk melayat beliau. Setelah mandi dan shalat dhuha, saya menunaikan shalat ghaib untuk Pak Cholil.

Usai shalat ghaib, saya terpekur selama beberapa saat, mengingat-ingat berbagai kenangan dengan Pak Cholil. Maklumlah, sudah setahun lebih saya tidak bertemu dengan salah satu tokoh Partai Masyumi terakhir itu. Padahal, dulu selama masih di Jakarta, beliau sudah saya anggap seperti orang tua, sekaligus guru saya dalam politik Islam. Sebulan sekali saya pasti sowan ke rumah beliau. Setelah beliau kembali ke Magelang, hampir setiap lebaran saya datang. Kemudian enam tahun yang lalu, saya beberapa kali sowan untuk mewawancarai beliau, sebagai bahan Thesis saya, tentang Ketua Umum Masyumi yang terakhir, Almarhum Prawoto Mangkusasmito.

Dalam doa saya tiba-tiba teringat, betapa tulusnya Pak Cholil dan Almarhum Ibu saat menerima saya dan kawan-kawan, ketika sedang sowan ke rumah dinas beliau yang besar di Kemang pada tahun-tahun akhir Orde Baru, sekitar 1994. Ibu Cholil almarhum selalu menyiapkan makan dan berbagai kue untuk kami yang rasanya selalu lapar. Mungkin saat itu ada banyak naga yang tinggal di perut kami, sehingga makanan yang beliau sediakan selalu ludes tanpa sisa, namun beliau hanya tersenyum saja melihat kelakuan kami. Selain soto, gudeg, atau sate ayam, menu penganan asli Magelang yang selalu tersedia di rumah beliau adalah jadah ketan ditemani tempe bacem yang maknyus.

Meskipun saya juga berasal dari Magelang seperti beliau, selama masih SD hingga SMA di Magelang saya justru belum pernah bertemu dan tidak mengenal Pak Cholil Badawi. Padahal saya juga punya teman yang tinggal di dekat rumah beliau. Sementara saat SMP-SMA, setiap malam minggu saya mengaji ke salah seorang junior beliau yang sama-sama bernama Pak Cholil. Mungkin saat itu Pak Cholil Badawi sudah lebih banyak aktif di Jakarta, sebagai anggota partai, anggota DPR hingga beberapa periode, dan kemudian Wakil Ketua DPA.

Seingat saya, saat kali pertama sowan ke rumah dinas Pak Cholil di Kemang, saya diajak Mas Aru dengan membonceng vespa miliknya. Saat itu saya masih menjadi reporter junior di majalah Forum Keadilan. Saya lupa ada acara apa waktu itu, tapi yang jelas beberapa tokoh Islam hadir. Ketika tamu belum banyak, saya diperkenalkan Mas Aru kepada Pak Cholil sebagai wartawan muda di Majalah Forum Keadilan, dan bekas aktifis kampus. Sejak saat itu beliau selalu menyapa saya dengan panggilan “Dik Hanibal..” Padahal beliau sebenarnya lebih sepuh dari pada orang tua saya.

Di rumah dinasnya itu pula, saya kemudian mengenal banyak tokoh Islam, terutama yang berasal dari rumpun Masyumi. Beberapa di antara mereka adalah Pak Anwar Harjono, Pak Hartono Mardjono, Pak Muhammad Solaeman, Pak Bachrun Martosukarto, Buya Ismail Hasan Metareum, KH Abdul Rasyid Abdullah Syafii, KH Cholil Ridwan, juga tokoh NU KH Yusuf “Pak Ud” Hasyim, yang juga paman Gus Dur. Yang muda-muda diantaranya Bang Imaduddin Abdurrahim, Pak AM Fatwa, Pak Amien Rais, Bang Yusril Ihza Mahendra, Bang MS Kaban, dan sebagainya. Beberapa tokoh Islam lainnya sudah menjadi guru-guru saya saat saya masih kuliah di Bogor, seperti KH Hasan Basri, KH Sholeh Iskandar, KH Didin Hafidhuddin, KH M Abbas Aula, dan sebagainya.

Saat itu, saya dan beberapa kawan yang masih junior biasanya masuk ke rumah Pak Cholil lewat pintu belakang. Apalagi kalau di ruang tamu sedang digelar pertemuan dengan tokoh-tokoh eks Masyumi, atau tokoh nasional lainnya. Biasanya pertemuan berlangsung habis shalat isya, sampai sekitar pukul 11 – 12 malam. Sampai-sampai, ada sebuah kamar di dekat ruang tamu yang biasa menjadi tempat kami klekaran, istirahat sejenak, bahkan bermalam kalau pertemuan berlangsung hingga larut malam. Begitu pula ketika beliau pindah ke sebuah rumah di kompleks perumahan Kalibata Indah di dekat markas BIN.

Dalam pertemuan-pertemuan itu awalnya kami hanya menjadi pendengar saja sambil lesehan di pojok ruangan. Apalagi, ketika para tokoh itu sedang bermusyawarah tentang berbagai masalah keumatan yang muncul pada saat itu, termasuk menyikapi soal pemerintahan Orde Baru. Lama-lama kami mulai berani bertanya. Selang tiga empat tahun kemudian, beliau-beliau –terutama Pak Cholil dan Pak Hartono Mardjono — malah yang sering bertanya kepada kami, tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di lapangan karena kami kebanyakan menjadi wartawan. Padahal beliau-beliau ini sudah malang-melintang puluhan tahun di panggung politik dan keumatan di tanah air.

Awalnya terus terang saya agak GR juga, umur masih 27 tahun tapi sudah disuruh menjelaskan tentang sesuatu masalah di depan para tokoh nasional. Baru ketika menulis Thesis tentang Pak Prawoto Mangkusasmito, saya baru faham, bahwa itulah cara mereka mendidik kami, anak-anak muda yang tak tahu diri ini. Sebab, dari wawancara kami dengan Pak Cholil, hal itu pula yang dilakukan para tokoh Masyumi di masa lampau –seperti Pak Natsir, Pak Prawoto, Pak Roem, Pak Sjaf, dan lain-lain– mendidik dan mengkader mereka.

Beberapa kawan sering bertanya-tanya, dari mana saya bisa dekat dengan Pak Cholil dan kalangan Masyumi. Padahal keluarga saya bukan keluarga Masyumi. Di masa Orde Lama dulu, keluarga Bapak dan Ibu saya adalah keluarga PNI. Bahkan Ibu saya pernah menjadi salah satu Ketua Wanita Marhaen di tingkat kabupaten. Sementara setelah Orde Baru berkuasa, sebagai pegawai negeri, Bapak dan Ibu saya kemudian wajib bernaung di bawah Pohon Beringin. Bahkan beliau berdua kemudian menjadi juru kampanye Golkar sejak Pemilu 1982.

Saya merasa, saya bisa dekat dengan Pak Cholil karena ide-ide tentang kemasyarakatan, kenegaraan, dan keislaman yang beliau ungkapkan kepada saya, bisa saya terima dengan baik. Saat menjelaskan situasi politik dan analisa kebijakan, beliau selalu dapat menjelaskan secara logis, cerdas, jelas, tidak emosional, tidak waton suloyo atau kenceng-kencengan. Semua diurai dan dianalisa secara jernih. Pak Cholil pun tidak pernah mendoktrin kami untuk mengerjakan A atau B, tapi beliau selalu memberikan motifasi dengan argumentasi yang pas dan mengena, sehingga secara otomatis kita akan melaksanakannya.

Pada saat lebaran lalu, saya sebenarnya sudah sowan ke rumah beliau di belakang Masjid Besar Kauman Magelang. Tapi rumah itu kosong. Biasanya kalau pintu depan tertutup, pintu belakang bisa diketuk dan langsung dibukakan oleh cucu, menantu, atau pembantu beliau. Tapi saat itu hingga sekitar sepuluh menit, tak ada satu pun yang membukakan pintu. Saya pun pulang dengan tanda tanya. Saya baru tahu beberapa hari kemudian setelah pulang ke Jakarta. Ternyata beliau sedang dirawat di rumah sakit, setelah terjatuh di kamar mandi.

Sore ini, saya mendapatkan kabar dari kakak saya, yang baru saja melayat ke rumah Pak Cholil di Kauman, Magelang. Alhamdulillah. Sedikit terobati kesedihan saya. Tapi entah mengapa air mata saya langsung mengalir ketika saya mendapat kabar dari kakak saya, bahwa selama ini Pak Cholil ternyata sudah harus cuci darah seminggu sekali. Jumat lalu beliau masuk ICU, dan pagi tadi menjelang Subuh beliau wafat dalam usia 86 tahun 6 bulan. Saya jadi teringat ketika Pak Cholil juga sempat melayat ke rumah ayah saya di Blabak, Magelang, ketika ayah saya meninggal, 12 tahun yang lalu. Mohon maaf Pak, saya belum bisa melayat Bapak. Allahummaghfirlahu warhamhu waafihi wa’fuanhu wajalil jannata matswahu. Insyaallah Bapak Husnul Khatimah.

Sebagai persembahan, berikut ini saya ingin mengutip beberapa bagian dari Tesis saya, yang merupakan hasil wawancara dengan Pak Cholil Badawi, dan beberapa sumber lainnya, untuk menjelaskan tentang langkah dan perjuangan beliau bersama Pak Prawoto Mangkusasmito, Ketua Umum Partai Masyumi terakhir. Semoga langkah beliau berdua bisa menjadi teladan kita bersama.

========
Pada awal tahun-tahun 1960-an, beberapa orang kader pemuda dan mahasiswa muslim yang potensial, sering kali dipanggil secara khusus satu per satu oleh Prawoto Mangkusasmito, untuk datang ke rumahnya di jalan Kertosono 4, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Bahkan tidak jarang pula, di sela-sela undangan mengisi training, Prawoto Mangkusasmito juga menyempatkan diri untuk menemui kader-kader generasi muda Islam pada saat berkunjung ke berbagai daerah. Kadang Prawoto Mangkusasmito meminta perkembangan informasi terkini di daerah yang sedang dikunjunginya, sekaligus untuk memberikan arahan dan motifasi perjuangan kepada para kader muda Islam di daerah itu.[1]

Salah satu kader bentukan Prawoto Mangkusasmito adalah KH Cholil Badawi. Pada masa mudanya, bekas Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung ini, adalah salah seorang kader dan pengurus daerah Partai Masyumi Jawa Tengah, pada masa Prawoto Mangkusasmito menjadi Ketua Umum Partai Masyumi antara tahun 1958 – 1962. Cholil Badawi menjabat di kepengurusan daerah Partai Masyumi sekitar tiga tahun sebelum akhirnya partai berlambang bulan dan bintang itu membubarkan diri, akibat tekanan pemerintah rezim Orde Lama. Namun menurut Cholil Badawi, justru setelah Partai Masyumi bubar, dirinya menjadi lebih dekat dengan Prawoto Mangkusasmito. Hal itu terjadi karena setelah Partai Masyumi dibubarkan Soekarno pada 17 Agustus 1960, Prawoto Mangkusamito kemudian aktif di Serikat Tani Islam Indonesia (STII). Pada saat itu, Cholil Badawi juga menjadi kader dan pengurus STII Jawa Tengah.[2]

Sekitar tahun 1960 – 1961, setiap bulan Cholil Badawi diwajibkan oleh Prawoto Mangkusasmito untuk datang ke Jakarta. Cholil Badawi diminta untuk memberikan laporan-laporan tentang kondisi sosial politik di Jawa Tengah. Pada awalnya, Cholil Badawi kadang harus menunggu sampai seharian sebelum dapat bertemu dengan Prawoto Mangkusasmito. Maklumlah, Ketua Umum Partai Masyumi terakhir itu sangat sibuk dengan berbagai kegiatan partai, ummat dan menerima tamu-tamu penting. Namun setelah berlangsung hingga beberapa bulan kemudian, setiap kali datang ke rumah Prawoto Mangkusasmito di jalan Kertosono nomor 4, Menteng, Jakarta Pusat, sementara bekas Wakil Perdana Menteri itu sedang menerima tamu, Cholil Badawi kemudian diperbolehkan untuk masuk ke ruang tamu, dan bahkan ikut mendengarkan pembicaraan Prawoto Mangkusasmito dengan tamu-tamu pentingnya.[3] Tampaknya, pada saat itu Prawoto Mangkusasmito sudah dapat membaca potensi Cholil Badawi, bahwa anak muda dari Magelang, Jawa Tengah ini, memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan dengan baik, memiliki wawasan yang cukup luas, rajin, setia dan dapat dipercaya.

Ketika itu, selama hampir setahun penuh, Cholil Badawi terus mondar-mandir naik kereta api dari Magelang ke Jakarta. Anehnya, saat itu Prawoto Mangkusasmito tidak pernah memperbolehkan Cholil Badawi menginap di Jakarta sama-sekali. Awalnya, Cholil Badawi merasa keheranan atas perintah Prawoto Mangkusasmito itu. Namun, Cholil Badawi tetap melaksanakan perintah itu, walaupun sering kecapean. Baru belakangan Cholil Badawi memahami alasan, mengapa Prawoto Mangkusasmito tidak memperbolehkan dirinya menginap di Jakarta. Ternyata Prawoto Mangkusasmito menganggap situasi Jawa Tengah sangat genting dan sekaligus menjadi barometer perkembangan sosial-politik nasional di masa itu. Karena itu Jawa Tengah tidak boleh ditinggalkan, dan harus selalu dalam pantauan Cholil Badawi. Inilah cara mendidik Prawoto Mangkusasmito dalam hal kesungguhan dan tanggung jawab.[4]

Sebagai seorang pucuk pemimpin Serikat Tani Islam Indonesia (STII), Prawoto Mangkusasmito sering menjelaskan kepada Cholil Badawi, tentang betapa strategisnya peran kaum petani dalam perjuangan politik di Indonesia. Misalnya, jika ummat Islam menguasai petani, dan kemudian memboikot pengiriman bahan makanan ke ibukota Jakarta, maka dapat dipastikan bahwa tak lama kemudian kota Jakarta akan lumpuh karena dilanda kekurangan pangan. “Kalau kita mampu menghimpun para petani di Jawa seperti ini, maka Jakarta tidak akan bisa apa-apa. Jakarta pasti akan lumpuh dan mati. Karena itu kita harus bisa menguasai petani,” ujar Prawoto Mangkusasmito suatu ketika, sebagaimana diceritakan oleh anggota Dewan Pembina Dewan Dakwah Islamiyah, Cholil Badawi, kepada penulis.[5]

Prawoto Mangkusasmito tidak hanya sekadar berteori dalam masalah pertanian maupun dalam upaya membina kaum tani. Prawoto Mangkusasmito pun sering turun sendiri ke desa-desa untuk memberikan penyuluhan kepada para petani. Misalnya pada saat bersama Cholil Badawi berkunjung ke pelosok desa di sekitar Magelang, Jawa Tengah. Pada saat itu penanaman tanaman warung hidup dan apotik hidup mulai digalakkan dalam program PKK. Namun, Prawoto ternyata Mangkusasmito sudah menganjurkan penanaman berbagai tanaman yang bermanfaat untuk pangan dan obat-obatan itu di sekitar pekarangan rumah para petani. Selain dalam rangka kaderisasi, para petani anggota STII dari berbagai daerah pun dididik agar dapat bertani secara intensif. Pengkaderan dan pendidikan para anggota STII dari berbagai daerah ini diselenggarakan di Pesantren Darul Falah, Ciampea, Bogor, Jawa Barat. Di pesantren pertanian itu, Prawoto Mangkusasmito dan para pimpinan Partai Masyumi lainnya ikut membina mereka.[6]

Selama sekitar setahun Cholil Badawi bolak-balik Jakarta – Magelang untuk melaporkan segala perkembangan situasi di Jawa Tengah, sekaligus mendapat bimbingan langsung dari Prawoto Mangkusasmito dalam bidang politik dan kemasyarakatan. Bimbingan itu meliputi cara memahami persoalan di tengah masyarakat, mengantisipasi perkembangan yang akan terjadi, dan juga menyiapkan kader ummat di berbagai lapisan masyarakat, termasuk ke kalangan militer. Namun, seiring dengan pembubaran Partai Masyumi, Partai Sosialis Indonesia dan Murba, Prawoto Mangkusasmito pun dipenjarakan oleh rezim Orde Lama, bersama beberapa tokoh partai itu. Pertemuan rutin mereka pun terhenti. Baru setelah dibebaskan dari penjara rezim Orde Lama oleh pemerintah Orde Baru, Cholil Badawi pun kembali sering bertemu dengan Prawoto Mangkusasmito dalam rangka membangun kembali Partai Masyumi.[7]

Pada waktu itu Prawoto Mangkusasmito sudah memperkirakan, bahwa rezim militer yang dibangun Suharto akan berlangsung lama, antara 20 hingga 30 tahun, dan selama itu pula tentara akan menguasai semua bidang. “Suharto itu jangan dianggap enteng, karena dia adalah seorang ahli strategi,” ujar Prawoto Mangkusasmito kepada Cholil Badawi. Karena itu, Prawoto Mangkusasmito berpesan kepada Cholil Badawi, dengan mengutip kata-kata dari Muhammad Natsir, agar para kader Masyumi pandai berpirau air. Artinya, mereka harus tetap bertahan di tepi, sambil berusaha menyeberang namun tidak terbawa arus. “Kita tidak bisa bertahan seperti kita beraktifitas di Masyumi dulu, karena Soeharto sangat kuat. Karena itu, hendaknya ada satu atau dua orang pandu-pandu aqidah di setiap kabupaten,” kata Cholil Badawi mengutip pernyataan Prawoto Mangkusasmito. Pandu-pandu aqidah yang dimaksud Prawoto Mangkusasmito adalah para kader pemuda muslim.[8]

Prawoto Mangkusasmito juga selalu mengingatkan kepada para aktivis pemuda muslim dan simpatisan Partai Masyumi untuk senantiasa memperhatikan persoalan ummat sehingga selalu dekat dengan ummat. Hal itu pernah dipesankan mantan Ketua Umum Partai Masyumi terakhir itu kepada Cholil Badawi, ketika pemerintah Orde Baru semakin menancapkan kekuasaannya: “Suharto tidak bisa sendiri dan tidak bisa terus bertahan. Karena itu bagaimanapun juga kita harus ada di tengah-tengah rakyat.” [9]

Pesan Prawoto Mangkusasmito tentang perlunya menyiapkan kader ummat dari berbagai lapisan masyarakat akhirnya menginspirasi Cholil Badawi untuk mulai membina para Taruna Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Jawa Tengah. Prawoto Mangkusasmito misalnya pernah mengatakan bahwa “Tentara itu jangan sampai dibiarkan. Mereka harus diingatkan sebagai seorang muslim, karena posisi mereka akan sangat menentukan dalam jangka waktu ke depan.” Kebetulan, pada saat itu belum ada pembinaan keagamaan bagi para Taruna AMN. Para Taruna AMN (dan kemudian namanya menjadi AKABRI = Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang dibina Cholil Badawi umumnya adalah para bekas aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) atau Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang masuk Akademi Militer pasca tumbangnya rezim Orde Lama. Pada umumnya, para Taruna AMN ini sebelumnya juga sudah aktif dalam organisasi massa yang muncul saat itu, yakni KAMI (Komite Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Komite Aksi Pemuda Pelajar Indonesia).[10]

Cholil Badawi mulai membina para Taruna AMN sejak tahun 1966 hingga 1971. Mereka kemudian dikenal sebagai abituren AMN angkatan 70, 71 dan 72 serta AKABRI angkatan 73 dan 74. Dalam pembinaannya, Cholil Badawi lebih banyak membimbing para taruna AMN itu dalam kegiatan ibadah mahdhoh di masjid besar Kauman Magelang, membantu menerbitkan buletin dakwah untuk para taruna, dan mengingatkan bahwa selain sebagai tentara para taruna itu sesungguhnya juga seorang da’i. Cholil Badawi selalu mengingatkan bahwa sebagai tentara, mereka harus berpikiran Islam. Mereka diharapkan tetap konsisten dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap ajaran-ajaran Islam, serta menjadi contoh ketika nanti mulai menjabat di tengah pasukan, dan kepemimpinan ABRI.[11]

Beberapa perwira tinggi yang pernah dibina oleh Cholil Badawi antara lain mantan Wakil Panglima TNI Jenderal Purn. Fachrul Razi, mantan KSAD Jenderal Purn. Subagyo Hadi Siswoyo, mantan Deputi V BIN Mayjen Purn. Muchdi Purwoprandjono, mantan Panglima Kostrad Letjen Purn. Prabowo Subianto, Wakil Menteri Pertahanan Letjen Purn. Sjafrie Sjamsoeddin, Sekretaris Negara Letjen Purn. Sudi Silalahi, mantan Pangkostrad Letjen Purn. Suaidi Marasabessi, mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen Purn. Kivlan Zein, mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letjen Purn. Syamsul Maarif, mantan Pangdam I Bukit Barisan almarhum Mayjen Ismed Yuzairi, mantan Pangdam I Bukit Barisan almarhum Mayjen Abdul Rahman Ghaffar yang menjadi menantunya, mantan Asisten Teritorial Kasum TNI Mayjen Purn. Eddi Budianto, mantan Dirjen Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan, Mayjen Purn. Aqlani Maza, mantan Staf Ahli Panglima TNI Brigjen Purn. Adityawarman Thaha yang juga menjadi koordinator kelompok itu, dan sebagainya. Mayjen Purn. Kivlan Zein menyebut kelompok pengajian para taruna AMN itu sebagai Kelompok Komando Masjid, atau disingkat Pokdojid.[12]

Para bekas aktivis muslim yang menjadi taruna AKABRI itu pun kemudian aktif mengkader adik kelas mereka. Menurut Kivlan Zein dari AKABRI angkatan 1971, salah satu taruna yang diajarinya shalat dan mengaji adalah mantan Panglima Kostrad, Letjen TNI Purn. Prabowo Subianto. Padahal, Prabowo Subianto, lulusan AKABRI Angkatan 1974 itu, adalah anak kandung Begawan ekonomi sekaligus tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo yang sekuler. Pada saat masih menjadi Taruna AKABRI, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sempat beberapa kali hadir dan mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan di Masjid Besar Kauman Magelang, atau di rumah Cholil Badawi yang letaknya tak jauh dari masjid itu. Namun, Yudhoyono yang bekas anggota Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI), sebuah organisasi onderbouw Partai Nasional Indonesia (PNI), kemudian lebih tertarik dengan kegiatan-kegiatan lain di AMN. Apalagi ketika di tingkat III, Yudhoyono terpilih menjadi Ketua Senat Taruna.[13]

Pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, ketika mulai mengakomodasi kepentingan ummat Islam, Presiden Soeharto juga membuka jalan bagi para perwira muslim itu untuk masuk ke lingkar kekuasaan dan posisi strategis. Mereka masuk lewat menantu Soeharto, Letnan Jenderal Prabowo Subianto, sejak masih menjadi Wakil Komandan Kopassus, Komandan Jenderal Kopassus, hingga kemudian menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Kelompok militer yang kemudian biasa disebut sebagai kelompok Prabowo ini kemudian dijuluki sebagai kelompok ABRI hijau. Sementara itu, kalangan militer nasionalis sekuler kemudian biasa disebut dengan istilah ABRI Merah Putih.[14]

Setelah upaya rehabilitasi Partai Masyumi buntu, pada masa Orde Baru, Cholil Badawi bergabung dengan Partai Muslimin Indonesia, yang kemudian berfusi dengan tiga partai lainnya menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di PPP Cholil Badawi pernah menjadi Ketua Wilayah PPP Jawa Tengah, menjadi salah satu Ketua DPP PPP, lalu menjadi anggota DPR RI, sebelum diangkat menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Cholil Badawi pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Umum saat Dr. Anwar Harjono menjabat sebagai Ketua Umum pada tahun 1997, dan terpilih menjadi Anggota kemudian Ketua Dewan Pembina DDII sejak tahun 2010.[15]

Cholil Badawi adalah satu di antara beberapa orang ulama dan tokoh masyarakat yang diundang Presiden Soeharto untuk membahas rencana pengunduran diri pengusasa Orde Baru itu pada tanggal 19 Mei 1998. Beberapa tokoh lainnya adalah Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama K.H. Abdurrahman Wahid, Ketua Majelis Ulama Indonesia K.H. Ali Yafie, anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Malik Fadjar, budayawan Emha Ainun Nadjib, Ketua Yayasan Paramadina Nurcholish Madjid, Guru Besar Hukum Tatanegara Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, Soemarsono dari Muhammadiyah, serta K.H. Ma’ruf Amien, dan Ahmad Bagdja dari Pengurus Pusat Nahdlatul Ulama.

=====
[1] Wawancara dengan K.H. Cholil Badawi, Jumat 5 Oktober 2012.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Wawancara dengan Mayjen Purnawirawan Kivlan Zein, November 2003.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Wawancara dengan K.H. Cholil Badawi, Jumat 5 Oktober 2012.

HANIBAL WIJAYANTA
Wartawan Senior
Sumber: Facebook Hanibal Wijayanta

Artikel Terkait

Back to top button