SUARA PEMBACA

Syahwat Kekuasaan

Politik itu persoalan kekuasaan. Begitulah pandangan rakyat ketika dihadapkan dengan urusan politik di masa sekarang. Pasca pilpres dan pileg usai, percakapan kini bergeser terhadap urusan yang lebih penting bagi para politisi, apalagi kalau bukan bagi-bagi kue kekuasaan.

Berbagai cara mereka lakukan. Mulai dari cara persuasif, simpatik sampai dengan cara-cara represif nan culas. Mulai dari yang malu-malu kucing sampai yang terang-terangan. Saling sikut, saling jegal dan saling sindir. Masing-masing berusaha menonjolkan diri beradu strategi demi duduk di kursi menteri. Toh memang sudah dijanjikan, masing-masing partai pendukung akan dapat jatah kursi menteri dari presiden.

Maka, kesemerawutan di Istana Negara saat ini bukanlah hal baru. Riuh rendah politisi berebut jabatan dan posisi strategis dianggap sebagai konsekuensi yang wajar. Hari gini mana ada makan siang yang gratis, begitu yang mereka pikir. Ketika syahwat politik sudah berbicara, kapabilitas intelektual dan kompetensi calon menteri urusan belakangan, yang penting ajukan diri dulu demi setampuk kekuasaan, khawatir jatahnya diambil orang.

Di periode pertamanya Bapak Jokowi, tak sedikit menteri yang kinerjanya jeblok. Sayangnya, track record buruk tersebut tak berpengaruh pada jabatannya. Jangankan dicopot dari posisinya, bergoyang saja tidak.

Padahal, sungguh, jabatan itu bukan untuk diperebutkan. Amat berat pertanggungjawaban orang-orang yang berada di lingkar kekuasaan. Jika berani bermain-main dengan jabatan, yang merata bukan keadilan dan kesejahteraan, tetapi malah ketimpangan dan kemiskinan bagi rakyat. Karena jabatan yang mereka pegang adalah urusan hajat hidup umat. Sedikit saja salah mengambil kebijakan, bisa berakibat ratusan juta jiwa teraniya.

Umar bin Khaththab ra pernah mengatakan, “Andai ada anak kambing mati kehausan di tepi Sungai Tigris. Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada dirinya. Itulah sebabnya kenapa beliau tidak pernah tidur dengan tenang, sebelum berkeliling memastikan seluruh rakyatnya tidak kekurangan dan kelaparan.”

Andai kursi jabatan yang mereka perebutkan itu adalah kursi listrik yang menyengat, niscaya mereka tak akan ribut. Andai mereka tahu bahwa keadilan seorang pemimpin lebih baik dari ibadah setahun, karena keadilannya dirasakan lebih dari ribuan orang, niscaya mereka akan berhati-hati. Andai mereka tahu jika berbuat zalim sehari saja, bisa mengakibatkan banyak rakyatnya tersiksa, niscaya mereka akan mundur teratur.

Tapi keniscayaan itu tidak berlaku bagi mereka yang sejak awal matanya memerah rekah memandang jatah kursi di sejumlah kementerian. Mengamankan kursi masing-masing itulah yang jadi fokus mereka. Buat rakyat? Ahh mereka tentu sudah lupa.

Inilah potret politik dalam sistem demokrasi liberal. Politik tak lagi mengurusi urusan umat, karena konsep tersebut hanya ada pada sistem Islam.[]

Nurina Purnama Sari,S.ST.
Aktivis Dakwah di Depok

Artikel Terkait

Back to top button