SUARA PEMBACA

Baiq Nuril, Syafruddin dan Keadilan

Dunia peradilan Indonesia kembali menjadi sorotan. Peninjauan Kembali yang diajukan Baiq Nuril, terpidana kasus pelanggaran UU ITE ditolak Mahkamah Agung. Alasannya, Baiq Nuril tak mampu hadirkan bukti baru atas kasus pelecehan seksual yang menimpanya.

Kasus Baiq Nuril cukup menyita perhatian. Media internasional pun ikut memberitakan. Ditolaknya PK oleh MA membuat Baiq Nuril harus tetap menjalani hukuman enam bulan penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.

Putusan MA kembali mencederai keadilan hukum yang ditegakkan di negeri ini. Maksud hati melaporkan pelecehan, malah berkebalikan. Ia dilaporkan balik karena dituduh telah menyebarkan rekaman dirinya dengan Kepala Sekolah tempatnya bekerja.

Lain Nuril, lain pula nasib Syafruddin. Koruptor kasus BLBI itu dinyatakan bebas pasca putusan kasasi MA. Ia dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum. Dalam putusan kasasi itu disebutkan, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu memang bersalah atas perbuatannya hanya saja majelis hakim menilai tindakan Syafruddin bukan ranah pidana. Padahal pengadilan tinggi DKI telah menyatakan bahwa Syafruddin Arsyad terbukti bersalah terkait penerbitan SKL BLBI yang merugikan negara. Ia dijerat hukuman 15 tahun penjara. Namun, putusan MA justru mementahkan semua itu. Sebuah ironi keadilan dalam negara demokrasi.

Dua kasus berbeda tersebut cukup memberi sinyal bahwa hukum tidak ditegakkan dengan sebenar-benarnya. Apa jadinya bila pelaku pelecehan bebas, sementara korban menanggung beban hukum hanya karena ingin meminta keadilan? Bagaimana masa depan Indonesia yang ingin bersih dari para perampok negara justru memberi angin kebebasan bagi para koruptor? Tentu saja hal itu akan terus berulang selama keadilan tidak tegak lurus dengan landasan hukum yang benar. Hukum bisa diperjualbelikan. Meniadakan rasa keadilan demi segenggam materi.

Dalam sistem demokrasi, sulit rasanya mendapat keadilan sejati. Hal ini terjadi karena:

Pertama, demokrasi menyuburkan praktik korupsi. Tradisi suap menyuap seakan sudah menjadi budaya dalam demokrasi. Pelicin berupa iming-iming uang dan jabatan menjadi hal biasa. Praktik rasuah tak menutup kemungkinan juga terjadi di lembaga peradilan. Jika itu terjadi, pengambilan keputusan hukum juga rentan disusupi kepentingan akibat ‘sogokan’.

Kedua, keadilan hukum yang sulit diwujudkan menjadi indikasi bahwa sistem hukum buatan manusia memiliki sisi lemah. Tidak memliki landasan hukum yang tetap. Bisa berubah-ubah disesuaikan situasi dan kondisi yang tengah terjadi. Pada akhirnya, mudah diintervensi berbagai kepentingan.

Ketiga, sanksi hukum lemah sehingga tak memberi efek jera bagi pelakunya. Sudahlah sanksinya lemah, penegakan hukumnya pun masih berat sebelah. Dalam kasus korupsi besar yang melibatkan petinggi dan pejabat negara seakan sulit terungkap. Di era kapitalis, apapun bisa dibeli tak terkecuali hukum di negeri ini. Dari masa ke masa angka kriminalitas makin bertambah. Korupsi makin berkembang dengan beragam cara.

Keempat, hukum buatan manusia tak memberi kepastian hukum. Mudah diperdaya oleh manusia. Hukum terkadang menjadi alat tekan penguasa kepada rakyat. Rentan disalahgunakan. Tak ayal, hukum terasa tajam ke rakyat dan tumpul ke pejabat.

Beginilah fakta hukum dalam demokrasi. Terwujudnya keadilan seakan hanya mimpi. Semu dan kosong harapan. Berharap keadilan hakiki di alam demokrasi seperti angan belaka. Berbeda bila kita mau menegakkan hukum di luar buatan manusia. Seperti hukum Islam ketika diterapkan. Tak hanya memberi keadilan namun juga mencegah peningkatan angka kriminalitas. Sebab, sanksinya sudah pasti memberi efek jera dan penebus dosa. Tak akan mudah berbuat kriminal karena tegasnya sanksi yang diterapkan. Hukum Islam jauh dari intrik kepentingan. Karena ia bersumber dari Dzat Maha Adil, Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button