NUIM HIDAYAT

Politik

Dalam politik selalu ada kawan dan lawan. Begitu juga dalam kehidupan manusia lainnya, ekonomi, budaya dan lain-lain. Tentu untuk mencapai kemenangan, harus memperbanyak kawan dan memperkecil lawan.

Politik dalam Islam ada landasannya. Al-Qur’an, Sunnah dan perilaku ulama atau negarawan yang shalih. Politik sekuler tidak ada landasannya. Yang penting mereka menang.

Politik dalam Islam dilandasi, diantaranya yang penting adalah kejujuran dan keadilan. Seorang politisi atau negarawan dilarang untuk berbohong atau berbuat zalim. Beda dengan politik sekuler yang dilandasi motivasi jabatan dan uang. Mereka menghalalkan kebohongan dan kezaliman. Tidak ada landasan yang kokoh dalam politik mereka.

Maka pemimpin yang suka berbohong, akan menyatakan jauhkan agama dari politik. Pemimpin yang suka berbuat zalim akan berucap pisahkan agama dari politik. Dengan tidak ada landasan agama, maka mereka akan berbuat semaunya. Mengeruk harta negara untuk diri, kelompok dan keluarganya, menindas orang-orang yang mengkritisinya dan lain-lain.

Diantara kaum sekuler itu ada yang menyatakan bahaya bila agama disatukan dengan politik. Contohnya pada abad pertengahan di Eropa, dimana pemerintahan bersatu dengan kaum gereja. Saat itu banyak terjadi penindasan, pembungkaman kaum intelektual dan lain-lain. Sehingga akhirnya Barat trauma bila kaum agamawan memegang tampuk pemerintahan. Mereka beranggapan sama saja bila kaum agamawan memegang pemerintahan -Kristen, Islam dll- mereka akan berbuat zalim. Mereka melakukan generalisasi dan lupa bahwa di Eropa saat itu yang bertindak zalim adalah kaum gereja.

Beberapa ilmuwan politik kemudian menunjuk kenyataan di Timur Tengah yang notabene Islam, banyak juga pemerintahnya yang melakukan kezaliman. Mereka lupa bahwa pemerintah Timur Tengah yang banyak beragama Islam itu telah meninggalkan ajaran Islam yang mulia. Mereka seringkali menutupi kezalimannya dengan ‘membayar ulama su’ (ulama jahat)’.

Mereka yang pro sekuler itu tidak melihat periode sejarah Islam yang penuh keadilan dan ‘kemakmuran’. Misalnya di masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, di Andalusia dan lain-lain.

Mereka tidak melihat prinsip-prinsip Islam dalam pemerintahan. Lihatlah bagaimana Rasulullah menyaudarakan dan mendamaikan antar suku yang suka berperang, menggalakkan zakat dan shadaqah, membebaskan wanita dari ketertindasan dan lain-lain.

Memang ada periode kelam dalam sejarah Islam. Misalnya ada khalifah yang zalim, menteri atau gubernur yang zalim dan lain-lain. Tapi secara umum sejarah Islam, menunjukkan kemuliaan dalam pengaturan pemerintahan. Dan yang paling penting, seorang khalifah, presiden atau raja, mesti harus berusaha semaksimal mungkin meniru Rasulullah, bukan mengikuti nafsunya dalam mengelola pemerintahan. Karena Rasulullah adalah teladan yang utama, pemimpin-pemimpin Islam lainnya tentu ada kelebihan dan kekurangan.

Disinilah krisis politik sekuler. Mereka tidak punya contoh atau teladan dalam mengelola pemerintahan. Mereka mengelola negara berdasarkan akalnya yang terbatas dan nafsu kuasa dalam dirinya yang terus menggelora.

Makanya, dalam kepemimpinan Islam, orang yang shalih, cerdas, adil (dan kreatif) adalah hal yang sangat penting.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button