SUARA PEMBACA

Utang Menggunung, Waspada Negara Bangkrut

Indonesia di ambang kebangkrutan. Detikcom menyebutkan neraca perdagangan Indonesia belum bisa keluar dari jeratan tekor alias defisit. Buktinya, setelah beberapa bulan lalu mengalami defisit, di April 2019 terjadi lagi.

Parahnya lagi, tekor neraca perdagangan pada April tahun ini menjadi sejarah baru dan terparah sejak Indonesia merdeka. Sebelumnya, tekor yang paling parah terjadi pada Juli 2013.

Sementara itu, utang luar negeri (ULN) Indonesia kuartal I 2019 tercatat US$ 387,6 miliar atau sebesar Rp5.542,6 triliun (kurs Rp14.300). Angka ini tumbuh 7,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Apakah angka tersebut masih aman?.

Peneliti INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan yang perlu diperhatikan dari utang luar negeri Indonesia adalah debt to service ratio (DSR) yang meningkat signifikan pada kuartal I 2019. DSR adalah rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan transaksi berjalan.

“Rasio pembayaran utang atau DSR ini naik jadi 27,9%. Kenaikan DSR ini mengindikasikan bahwa kinerja utang makin tak produktif dalam mendorong penerimaan valuta asing (valas) khususnya dari ekspor,” ujar Bhima saat dihubungi detikFinance, Sabtu (18/5/2019).

Dia menjelaskan, sementara itu memburuknya DSR terjadi karena kinerja pemerintah yang terlalu agresif menerbitkan utang di tengah kondisi global dan domestik yang berisiko.

“Terlebih imbas suku bunga mahal, membuat bunga utang surat berharga negara (SBN) secara rata-rata tinggi di 7-8%. Konsekuensinya beban cicilan pokok dan pembayaran bunga utang makin menekan APBN,” jelas dia.

Bhima mengatakan, utang yang ditarik oleh pemerintah juga terbukti belum mampu menciptakan stimulus untuk perekonomian. “Pembangunan infrastruktur yang didanai utang beberapa di bawah kapasitas penggunaan, ini karena rencana kurang matang dan growth hanya 5%,” imbuh dia.

Utang bagi Negara ini bukan lagi menjadi hal yang aneh. Sejak jatuhnya rezim orde baru dan digantikan dengan era reformasi tahun 1998 lalu, bangsa ini memang belum sepenuhnya lepas dari jerat utang luar negeri.

Namun, yang menjadi momok bagi masyarakat saat ini adalah jerat utang yang sudah sangat menggurita. Ketika Negara tak sanggup membayar utang yang sudah sangat menggunung tersebut, bagaimana nasib masyarakat dan tanah air selanjutnya. Berkaca pada konsekuensi yang diterima Srilanka dan Zimbabwe yang gagal bayar utang pada China, masyarakat memang patut kalut.

Kekalutan dan kepanikan masyarakat tersebut pada dasarnya tak akan berkesudahan. Karena pengalaman jerat utang dan ketidakstabilan ekonomi ini sebenarnya dialami hampir oleh setiap Negara di dunia. Jangan Indonesia yang disebut sebagai Negara berkembang, Amerika saja yang digelari Negara adidaya sama-sama mengalami krisis ekonomi yang tak kunjung usai dan senantiasa berulang.

Hal tersebut adalah karena sebagian besar Negara di dunia menganut sistem ekonomi kapitalis-liberal, sebagai turunan paham sekulerisme yang telah lama dijadikan dasar pemerintahan Negara-negara tersebut.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), mengartikan kapitalisme sebagai sistem dan paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya (penanaman modalnya, kegiatan industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan dalam pasaran bebas.

Sementara itu, menurut ilmudasar.com adalah ciri-ciri paham atau ideologi kapitalisme adalah mengutamakan kepentingan pribadi berada di atas kepentingan umum atau masyarakat luas.

Persaingan akan sangat ketat dalam sistem ini, yang kemudian menyebabkan saling memakan satu dengan lainnya. Yang kuat akan semakin kuat, sementara yang tidak punya akan semakin tidak berdaya.

Beberapa hal yang menjadi alasan di balik lemahnya sistem ini adalah, dalam Kapitalisme yang menjadi penopang ekonomi adalah sektor non riil, termasuk di dalamnya pasar saham, valas, obligasi, dan lainnya. Di mana pasar saham yang merupakan pasar judi dunia yang memang transaksi yang tidak jelas dan hanya menguntungkan para spekulan.

Selain itu, standar keuangannya pun berdasarkan dolar. Dimana uang kertas yang nilai intrinsik dan nominalnya berbeda dan mudah dipermainkan oleh para spekulan khususnya asing sehingga nilai uangnya fluktuatif.

Pemberlakuan sistem riba khususnya bunga bank sehingga banyak orang yang kredit dibebankan dengan bunga yang besar dan menguntung sebagian orang dengan tidak susah-susah bekerja. Sehingga secara implisit terjadi tindak kezaliman yaitu menzalimi sebagian pihak untuk keuntungan pihak tertentu. Pada akhirnya terjadi penumpukan (penimbunan) uang pada sebagian pihak sehingga pergerakan ekonomi tidak stabil.

Ditambah lagi ketidakjelasan hak kepemilikan. Dalam Kapitalisme, setiap individu berhak untuk memiliki sumber daya termasuk sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Karena terjadi kesenjangan sosial yang abadi dan yang berhak menikmati hanya orang-orang yang bermodal (Kapitalis).

Demikianlah terungkap alasan di balik gonjang ganjing ekonomi bangsa ini sehingga berada di ambang kebangkrutan. Yakni karena penerapan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal.

Oleh karena itu, sudah saatnya bangsa ini menyadari kesalahan fatal dalam penerapan sistem kapitalisme dengan membuangnya jauh-jauh dan menggantinya dengan sistem yang telah dipastikan kebenarananya, yakni sistem Islam.

Hanya sistem Islam di bawah institusi Khilafahlah yang telah terbukti kokoh ketahanan ekonominya. Satu-satunya Negara terbesar sepanjang sejarah yang mampu berdiri selama belasan abad. Dan mampu memberikan kesejahteraan hidup pada seluruh warga negaranya secara merata. Wallahu’alam Bishawab

Anisa Rahmi Tania
(Aktivis Muslimah Jakarta Utara)

Artikel Terkait

Back to top button