OPINI

212: Selamat Tinggal Prabowo-Sandi

Mobil komando FPI itu berisi kurang dari 10 orang. Mereka adalah pimpinan, ulama, tokoh, dan aktivis 212. Mobil berada di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, 24 Juni 2019.

Pengunjuk rasa yang sekitar 100.000 orang itu memadati jalan, mulai dari patung kuda sampai di depan kantor MK. Mereka tekun mendengar suara Majelis Hakim yang membacakan putusannya. Suara itu didengar melalui HP yang diperbesar volumenya di pengeras suara mobil komando.

Hakim membacakan putusan atas judicial review yang diajukan Prabowi – Sandi terhadap hasil pilpres 2019. Unjuk rasa, sejak 16 Juni 2019 itu dihadiri oleh mayoritas emak-emak dan pelbagai perwakilan dari seluruh Indonesia.

Menegakkan Keadilan

Saya belum pernah berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan Prabowo. Saya kurang menyukainya. Mungkin karena beliau adalah mantan mantu penguasa orde baru. Maklum, selama orde baru, saya tiga kali masuk sel dan sekali menjadi penghuni penjara. Namun, yang fenomenal, saya harus mengasingkan diri selama 15 tahun di Malaysia karena dikejar-kejar jenderal Beni Moerdani ekoran peristiwa Tanjung Priok (1984). Muasalnya, Soeharto menyelewengkan penafsiran Pancasila sebagai asas tunggal, seperti apa yang ada di RUU HIP dan RUU BPIP.

Unjuk rasa sudah saya lakoni sejak SMA (Maluku), mahasiswa (Makassar dan Jakarta). Sejak 1985 sampai pensiun dari KPK (2013), saya tidak lagi ikut unjuk rasa. Kali ini, saya turun langsung memimpin unjuk rasa. Sebab saya rasakan ada ketidak-adilan luar biasa dalam Pilpres 2019. Bahkan, saya sendiri ke kantor Polda Metro Jaya, mengurus “izin” unjuk rasa tersebut.

Ketidak-adilan itu dapat dilihat dari beberapa indikator:

(1) Selama 74 tahun Indonesia merdeka, belum pernah ada ijtima’ ulama yang merekomendasikan capres/cawapres. Pilpres 2019, ada itima’ ulama yang menetapkan capres, yakni Prabowo.

(2) Belum pernah ada fraksi emak-emak yang khusus mendukung capres/cawapres tertentu. Pilpres 2019, ada fraksi emak-emak yang bersemangat mendukung capres nomor 2, apalagi Sandiaga Uno.

(3) Biasanya, capres/cawapres dan tim suksesinya yang membagi-bagikan uang atau sembako ke pemilih. Pilpres 2019, masyarakat menyumbang ke capres/cawapres setiap kandidat no 2 kampanye.

(4) Peristiwa pembunuhan 10 orang, termasuk anak di bawah umur ketika unjuk rasa di depan kantor Bawaslu, 21 dan 22 Mei, tidak ditanggapi presiden.

(5) KPU tidak dapat menyeleraskan jumlah pemilih yang ada di DPT dan yang mencoblos karena manipulasi suara. Bahkan, meninggalnya 700-an petugas KPPS, tidak mendapat atensi samasekali dari pemerintah dan KPU. Penangkapan anggota KPU oleh KPK menjadi indikator adanya manipulasi hasil Pilpres 2019.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button