OPINI

ABW dan Sang Ganteng

Puan Maharani mulai berulah sebagai politikus, idium “ganteng” ditebarkan. Jangan cuma “ganteng”, terkesan percuma saja jika tidak bisa bekerja. Itulah lontaran narasi Puan menanggapi kemunculan calon-calon Presiden yang tampak ganteng-ganteng, seperti: Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil dan Sandiaga Uno. Yang dianggap belum terbuktikan kinerjanya.

Tetapi, idium itu tetap saja berbau narcisisme, berbelah dua. Analoginya, di sisi lain berarti ada yang jelek tapi dianggap bisa bekerja. Kita tahu siapa yang disebut jelek, tapi bisa bekerja. Namun, apakah idium ini sesungguhnya benar adanya?

Jawabannya, tidak semua benar dan juga tidak semua salah. Biasa-biasa sajalah, standar sajalah. Jika “sang jelek itu dianggap bisa bekerja” berhasil banyak membangun infrastruktur itu dianggap sesuatu yang tidak aneh, biasa, wajar dan mudah saja kok. Itulah pencapaian kinerja Jokowi selama hampir satu dasawarsa ini tanpa ada kenaikan level, seperti Walikota layaknya membangun infrastruktur sebanyak-banyaknya ya bisa. Tidak ada yang luar biasa bila dilihat dari tujuan visi kenegarawanannya seorang Presiden.

Tujuan visi kenegarawanan yang dimaksud, adalah membuat terwujudnya rekonsiliasi bangsa yang di bawah kepemimpinannya tidak pernah terjadi. Polarisasi rakyat terus dibiarkan tanpa perbaikan. Bahkan, seolah terbelah. Justru, penguasa malah turut campur dan berpihak. Kelompok mana yang ikut dan dekat dengan penguasa, itulah yang paling benar. Dianggap paling NKRI, paling Pancasilais.

Sementara, kelompok yang jauh dan tidak ikut penguasa, dianggap kelompok yang berlawanan. Kelompok ini dilabeli dan dituduh bawa-bawa faksi identitas dalam gerakannya.

Identitasnya entitas Islam, yang justru agama dianut oleh kelompok mayoritas rakyat. Sebagian, dikatakan berasal dari kelompok kadal gurun yang sejak awal ghirah revolusi akhlaknya —boleh jadi dimulai saat Pilkada DKI 2017, padahal sang pemimpin Imam Besar Habib Rizieq Syihab sudah menyatakan NKRI itu harga mati dan Pancasila itu final sebagai landasan ideologi negara. Lantas, siapa yang salah?

Yang salah sesungguhnya kesadaran politik kaum elitnya. Ahok yang jumawa sebagai Gubernur keceletot lidah sendiri, hingga menistakan Islam. Dan wajar saja jika umatnya kemudian membela agamanya, membela kitab sucinya. Tapi ya itu tadi kesadaran politik para elit sedang berada di tampuk perebutan kekuasaan, maka tuduhan atas politik entitas indentitas yang seolah mencuat dengan misi dan label agama dipersalahkan, sampai meluas dan mendalam tuduhannya akan adanya pembentukan negara khilafah segala.

Tapi lihatlah seorang tokoh ganteng yang kemudian menjadi pemenang Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, secara kontekstual, faktual dan rasional empat tahun menata dan membangun Jakarta ternyata mampu mengungkit galah tinggi salah satu tujuan visi kenegarawanan, yaitu mengimplementasikan perasaan bagi setiap warga Jakarta merasakan kesetaraan dan keadilan.

Anies pun memenangkan Pilkada Jakarta itu dari bilik-bilik suara secara geniun dan murni kedaulatan rakyat, tanpa setitik nila campur tangan oligarki partai dan atau oligarki konglomerasi.

Sebaliknya, Ahok yang disinyalir kuat sebagai mediator, mengakomodasi bagi Jokowi mencalonkan Presiden dengan “ongkos politik” dari mega proyek reklamasi Pantai Utara Teluk Jakarta.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button