RESONANSI

Anies ‘Political Obstacle’ versus Gurita Oligarki ‘Political Pillion’

Kolonialisasi tiga setengah abad meninggalkan kultur kolonial. Kolonialisme yang melahirkan feodalisme, menurunkan penyemaian begitu subur “tata laksana kerja” “perjongosan” dan “perbudakan” jenis baru dalam era gurita gigantisme ekonomi China saat ini.

“Jongos dan budak” dalam kanal struktur kekuasaan politik kolonialisasi dalam sejarah klasik biasanya justru berada di kasta paling rendah. Kebanyakan itu ditempati dan ditimpakan kepada kalangan masyarakat pribumi yang bodoh dan miskin.

Tetapi jika dalam sejarah itu ada banyak ditemukan raja dari kerajaan dan atau sultan dari kesultanan yang mau berkonspirasi dan berkolusi dengan kolonial, itu juga bisa disebut sebagai tak lebih pemerintahan dari kerajaan atau kesultanan “jongos” atau “budak” saat itu.

Itulah cara yang akan “diretas” oleh RRC Tiongkok, sebagai “kolonialisasi baru” yang akan dimainkannya, kali ini dalam “kecerdasan” dan “kekayaan” suatu pemerintahan modern sekalipun dewasa ini.

Mengawalinya dalam perjalanan meretas sejarah klasik itu kaum masyarakat China yang mayoritas pedagang, adalah kelompok masyarakat lain dengan warna kulit kuning dan mata sipit —sementara pribumi berkulit sawo matang dan mata “bende”, yang paling diuntungkan oleh adanya kanal politik kolonialisasi. Dikarenakan mereka “membonceng” kepentingan dari imperialisme penjajahan, mereka bekerja sama bermitra dengan cara berdagang.

Dan ketika kolonialisasi itu pergi, sang “pembonceng” sebisa mungkin hampir dipastikan cita-citanya berkeinginan menggantikannya dan meraih kekuasaan meski dengan gaya bak sang “Putri Malu”, tetap saja ambisiusisme mereka untuk menggapai kodrati quasi kekuasaan di “puncak tahta” menyala meraya-raya.

Tetapi, terbukti itu seperti telah menjadi sejarah di Republik ini semenjak belum berdiri, mereka itu pembawa misi politik licik “pembonceng”, alias “political pillion” itu selalu gagal dalam penguasaan kekuasaan politik —-ketika semenjak pasukan Kublai Khan berhasil disingkirkan oleh Raden Wijaya Raja Singosari cikal bakal berdirinya kerajaan besar Majapahit yang “membonceng” Jayakatwang dari Kerajaan Kediri, keduanya berhasil ditaklukannya.

Juga ketika di era politik modern dengan mengatasnamakan “demokrasi terpimpin” status Indonesia sudah merdeka dari kolonial, nyaris melalui politik kepartaian PKI, RRC Tiongkok mencoba kembali “membonceng”.

Tetapi, kudeta politik PKI gagal atas Soekarno yang justru semula sebagai “Bapak Asuhnya” sendiri dengan memberikan “kunci gembok” bagi terbukanya “pintu gerbang” melalui Nasakom yang Bung Karno literasikan dalam buku tebal “Di Bawah Bendera Revolusi”, memberikan kesempatan kepada ideologi komunisme dan PKI meracik dan merajah memasuki ranah politik kekuasaan Soekarno, tanpa disadarinya “pemboncengan” itu berakibat bak “menusukkan pedang dari belakang” ke jantung badannya sendiri.

Hingga membuat kepemimpinan Orde Baru setelah terjadinya tragedi paling berdarah peristiwa G 30 S PKI itu atas pembunuhan Dewan Jenderal yang menafikan pelimpahan fitnahnya tersampaikan kepada Soekarno , yang selanjutnya di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto yang membawa mandat amanat penderitaan rakyat dikenal sebagai “Soepersemar”, melakukan larangan konstusional dengan dikeluarkannya Tap MPRS No. 25 tahun 1966 idiologi komunis, PKI dan anasirnya untuk berada di bumi pertiwi ini.

Semenjak itu kaum masyarakat China yang segelintir ini tak pernah lagi menyentuh ranah kekuasaan politik.

1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button