RESONANSI

Antara Imbauan dan Kenyataan

Saya yakin, tidak ada seorang pun di negeri ini yang tidak menyambut gembira, mendengar dan menyimak pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR RI tahun 2022, Selasa 16 Agustus yang lalu. Terutama keprihatinan dan harapan, agar pada masa mendatang penyebab yang membuat masyarakat terpolarisasi harus dijadikan pelajaran.

Semua pihak diminta mengevaluasi diri. Sekeras apa pun persaingan, persatuan nasional tidak boleh dikorbankan (REPUBLIKA, Kamis 18 Agustus 2022, hal 1, kolom 1).

Keprihatinan yang menjadi pesan utama dalam pidato presiden, boleh jadi berangkat dari realita yang terjadi selama rezim ini berlangsung, di mana keterbelahan masyarakat sudah sangat memprihatinkan.

Istilah “Kampret”, “Kecebong”, “Kadrun” dan lain sebagainya terkesan sengaja terus dipelihara untuk lebih memperuncing perpecahan yang sudah ada. Umpatan, saling menghujat dan menghina begitu sangat tidak terkendali berseliweran di medsos, yang sangat sulit difahami oleh mereka yang masih mempergunakan akal sehat. Semua dimuntahkan hanya semata untuk membela kelompoknya dan menjatuhkan pihak lain.

Masuknya Capres dan Cawapres yang kalah dalam pemilu 2019 yang lalu ke dalam pemerintahan Capres dan Cawapres yang mengalahkannya, sama sekali tidak mengurangi sedikit pun keterbelahan yang ada. Yang lebih menyedihkan lagi, hadirnya buzzerRp, yang acapkali membuat narasi perpecahan hanya didasari sikap emosional untuk sekedar memuaskan pribadi, kelompok, terutama “Tuan” nya.

Mereka dengan begitu liar memuntahkan ungkapan, bahkan umpatan yang sangat emosional berbau provokasi, yang dirasakan oleh setiap orang yang merindukan persatuan di negeri ini sangat menjijikkan dan memuakkan.

Pertanyaan yang sering muncul dibenak mereka yang prihatin dengan kondisi ini adalah, siapakah gerangan yang memelihara, menyuapi bahkan menjejali mulut mereka dengan “rupiah” demi mengalahkan dan menjatuhkan yang dianggap sebagai lawan politiknya, dengan menghalalkan segala cara dalam bentuk yang sehina apa pun demi hanya memuaskan “Tuan” yang seakan telah menjelma menjadi “Tuhan” mereka?

K.H. Athian Ali M. Da’i, Lc. M.A., Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI).

Artikel Terkait

Back to top button