MASAIL FIQHIYAH

Begini Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang LGBT

Lesbian, gay, biseksual dan transgender alias LGBT belakangan menyeruak kembali. Baik dalam skala nasional maupun internasional. Sebut saja baru-baru ini sepasang gay diundang dalam sebuah podcast salah satu youtuber tanah air.

Lantas, bagaimana Fatwa Tarjih Muhammadiyah tentang masalah ini?

Syariah yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan hadis adalah pedoman yang tetap bagi umat Islam dan seluruh kaum beriman. Dengan demikian, dasar penilaian terhadap homoseksual dan lesbian tidak pernah berubah walaupun adanya perkembangan di masyarakat. Para ulama bahkan telah bulat sepakat bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang terlarang.

Demikian pula dalam Fatwa Tarjih yang termaktub dalam buku “Tanya Jawab Agama Jilid IV” disebutkan bahwa homoseks, hukumnya haram. Demikian pula dengan lesbian. Homo dalam Al-Qur’an disebut liwaath. Sedang lesbi dalam kitab fikih disebut sihaaq. Zina dilarang antara lain tersebut pada QS. Isra’ ayat 32. Dalam ayat itu zina dinyatakan perbuatan keji (fakhisyah). Demikian pula liwaath (homoseks) yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth juga dikategorikan dalam perbuatan yang keji (faakhisyah), seperti tersebut pada QS. Al Araaf ayat 80 dan 81:

“Dan (kami telah mengutus) Luth ketika ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fakhisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelumnya. Sesungguhnya engkau mendatangi laki-laki untuk melepaskan nafsumu bukan kepada wanita. Sungguh kamu ini kaum yang melampaui batas.”

Ayat senada disebutkan pula dalam QS. An-Naml ayat 54 dan 55 ayat selanjutnya menerangkan bahwa Allah menyiksa kaum Luth atas perbuatan mereka itu.

Mengenai lesbian, selain dikiaskan ayat di atas, juga didasarkan Hadis riwayat Abu Ya’la yang dinyatakan perawi-perawinya kuat berbunyi: “Melakukan sihaaq bagi wanita di antara mereka termasuk perbuatan zina.” Riwayat Ath-Thabrany dengan lafaz yang sedikit berbeda: “Perbuatan sihaaq (lesbi) antara wanita (hukumnya) zina di antara mereka.” (tersebut dalam Majma’uzzawid 6:256 dan pada al Fiqhul Islamy 6:24).

sumber: muhammadiyah.or.id

Artikel Terkait

Back to top button