OPINI

Belajar Atasi Krisis Pangan dari Islam

Masih ingat ucapan Pak Jokowi tentang pandangannya terhadap pangan Indonesia? Kurang lebih begini, “Tidak akan mungkin menjadi bangsa yang berdaulat di bidang pangan, kalau jumlah bendungan dan saluran irigasi yang mengairi lahan-lahan pertanian kita di seluruh penjuru Tanah Air, sangat terbatas.”

Salah satu tokoh politik AS, Henry Kissinger, pernah berujar, “Kontrol minyak maka Anda akan kendalikan negara. Kontrol pangan maka Anda akan mengendalikan rakyat.”

Ucapan kedua tokoh beda generasi dan benua itu ada benarnya. Sistem pertahanan sebuah negara tak hanya diukur dari pertahanan militernya. Namun, yang lebih utama adalah bagaimana negara memiliki ketahanan pangan dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Sebaik-baik pasukan dan strategi perang militer, akan luluh lantak juga bila ketahanan pangan bermasalah. Bencana kekeringan dan kelaparan jauh lebih menakutkan dibanding perang fisik.

Mengutip dari laman panganbijak.org, pada tahun 2050 diprediksi populasi dunia akan mencapai sembilan miliar dan permintaan pangan akan berlipat ganda dari tingkat konsumsi saat ini. Sementara luasan lahan pertanian dan luasan hutan yang menyediakan sumber pangan tidak bertambah, bahkan cenderung berkurang, karena perubahan fungsi. Indonesia bisa memiliki ketahanan pangan di tahun 2050 bila kita menerapkan pola konsumsi, produksi dan distribusi yang berkelanjutan, PANGAN BIJAK!

Pandemik Covid-19 membawa dampak krisis pangan lebih dini. Tak perlu menunggu tahun 2050, FAO sendiri sudah memperingatkan bahwa ancaman krisis di depan mata bila tak segera diantisipasi segera. Penerapan pangan ala kapitalisme global rupanya tak mampu menahan krisis. Kapitalisme tak memiliki jaring pengaman krisis. Krisis ekonomi, krisis pangan, krisis sosial, dan berbagai krisis lainnya telah meruntuhkan citra kapitalisme yang digdaya dan berkuasa.

Ketika kapitalisme kalah, apa yang akan dilakukan? Maka dibutuhkan sistem pengganti sebagai alternatif solusi fundamental. Menurut sejarah penerapannya, Islam cukup layak dan mampu atasi wabah dan krisis pangan. Kisah ini dikenal dengan krisis ramadah atau disebut dengan tahun kematian.

Saat itu terjadi musim paceklik panjang selama sembilan bulan yang menimpa Jazirah Arab pada tahun 18 H. Terjadi kekeringan panjang dan kelaparan hebat yang menewaskan ribuan manusia dan ternak. Zaid bin Aslam menuturkan, “Ketika terjadi tahun kematian, bangsa Arab dari segala penjuru berbondong-bondong datang ke kota Madinah. Khalifah Umar bin Khathab mengangkat empat orang pejabat khusus yang bertanggung jawab mengurusi kebutuhan mereka, mendistribusikan makanan dan lauk-pauk kepada mereka. Para pejabat khusus tersebut adalah Yazid putra saudara perempuan Namr, Miswar bin Makhramah, Abdurrahman bin Abdul Qari, dan Abdullah bin Utbah bin Mas’ud. Masing-masing pejabat khusus tersebut ditempatkan di masing-masing sudut kota Madinah.

Selama paceklik berlangsung, Khlaifah Umar bin Khattab menunjukan kualitasnya sebagai pemimpin sejati. Selama krisis ramadah, beliau tidak memakan daging. Beliau hanya mengonsumsi minyak dan kurma. Pada masa krisis beliau mengarahkan sumber pendapatan dari Baitul Mal untuk membantu orang-orang yang terkena krisis dan memberikan mereka makanan dan harta dari Baitul Mal hingga habis.

Beliau juga meminta bantuan makanan dari luar Madinah. Seperti meminta kiriman bantuan makanan pada Gubernur Mesir kala itu, Amru bin Ash. Selain itu, beliau juga memprioritaskan harta infak untuk menyelesaikan krisis. Salah satu hal yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab yaitu mengirimkan daging unta kepada badui yang mengalami dan terkena dampak krisis ini.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button