FIQH NISA

Bolehkah Perempuan Melakukan Safar tanpa Mahram?

Safar wanita masih menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama. Hal ini karena dalil-dalil yang berhubungan dengan safar wanita masih bersifat umum, sehingga berpotensi menimbulkan berbagai penafsiran. Tulisan di bawah ini menjelaskan perbedaan ulama tersebut:

Pengertian Safar

Safar secara bahasa adalah melakukan perjalanan. Safar juga berarti terbuka, disebut demikian karena orang yang melakukan safar akan terbuka dirinya dari tempat tinggalnya ke tempat yang terbuka. Begitu juga orang yang melakukan safar akan terbuka akhlak, perilaku dan perangai aslinya, yang selama ini tertutup ketika seseorang tidak mengadakan perjalanan. (Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab).

Oleh karenanya, wanita yang tidak menggunakan jilbab, sehingga sebagian anggota tubuhnya terlihat disebut dengan “Safirah“ (wanita terbuka auratnya).

Adapun Safar secara istilah para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasnya. Mayoritas ulama menentukan bahwa safar adalah perjalanan yang jaraknya lebih dari 85 km. Sedangkan sebagian lainnya mengatakan, batasan suatu perjalanan disebut dengan safar atau tidak, dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat masing-masing. Mereka berpedoman dengan kaidah fiqih yang menyatakan:

“Setiap istilah yang tidak mempunyai batasan di dalam bahasa Arab, dan tidak pula dalam syariat (Al-Qur’an dan Sunnah), maka dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat.“

Pengertian Mahram

Mahram secara bahasa adalah seseorang yang diharamkan menikah dengannya. (Mukhtar as-Shihah: 1/56)

Adapun mahram secara istilah adalah seorang laki-laki yang diharamkan menikah dengan seorang perempuan selamanya karena nasab, seperti hubungan bapak, anak, saudara dan paman, atau karena sebab yang mubah seperti suami, anak suami, mertua, saudara sepersusuan.“

Bentuk-bentuk Safar Wanita

Safar yang dilakukan wanita bisa dibagi menjadi tiga bentuk:

Pertama: Safar Mubah, seperti melakukan perjalan untuk rekreasi.

Kedua: Safar Mustahab (yang dianjurkan), seperti melakukan perjalanan untuk mengunjungi orang sakit atau menyambung silaturahim.

Imam Baghawi berkata sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al-Bari (4/76): “Para ulama tidak berbeda pendapat tentang ketidakbolehan seorang perempuan melakukan perjalanan yang bukan wajib, kecuali harus disertai suaminya atau mahramnya. Kecuali bagi perempuan kafir yang masuk Islam kemudian ingin berhijrah dari Dar al-Harbi (Negara Kafir) atau dia dalam keadaan ditawan musuh dan bisa lepas.“

Pernyataan di atas kurang akurat, karena pada kenyataannya terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini, seperti yang diriwayatkan dari al-Karabisi salah satu ulama Syafi’iyah yang membolehkan wanita melakukan safar mustahab tanpa disertai mahram.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button