RESONANSI

Bukan Urusan Saya

‘Bukan urusan saya’ nampaknya menjadi kalimat populer sejak Presiden Jokowi sering menjawab pertanyaan insan media perihal problem Indonesia. Sejak menjadi walikota dan Gubernur DKI Jakarta lalu, Jokowi sudah sering melontarkan kalimat itu. Menurutnya, persoalan daerah menjadi domain pimpinan daerah, bukan Presiden.

Sebagaimana yang pernah ia sampaikan dalam forum Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tahun 2017 lalu. Jokowi meminta tak setiap permasalahan daerah diadukan kepadanya. “Jangan sampai persoalan-persoalan daerah dibawa ke saya, dikit-dikit saya, enggak lah,” ujar Jokowi seperti dilansir media-media nasional. “Nanti gubernur kerjanya apa, bupati, menteri, kerjanya apa? Ooh, ini ke menteri ya sudah selesaikan ke menteri, bupati selesaikan ke bupati, tidak semua di saya,” ucap Jokowi.

Tidaklah mengherankan bila ada anggapan kalimat ‘bukan urusan saya’ adalah jurus ‘ngeles’ ala Pemimpin rezim Jokowi. Seolah tak tahu menahu dengan urusan rakyat. Setidaknya kalimat simpati lebih bisa diterima ketimbang melepas diri dari masalah. Jika setiap pertanyaan dijawab dengan ‘bukan urusan saya’, lantas dimana domain masalah yang menjadi urusan Pemimpin?

Coba kita tengok keteladanan seorang pemimpin dari sosok Umar bin Khattab. Keresahan Umar yang takut menelantarkan rakyatnya patut menjadi bahan perenungan bagi semua pemimpin negeri ini. Saat ia menyantap hidangan yang disediakan budak wanita untuknya, terjadilah percakapan antara Umar dengan Muawiyah bin Hudaij ra.

“Wahai Muawiyah, apa yang engkau katakan tadi ketika engkau mampir di masjid?” “Aku katakan bahwa Amirul Mukminin sedang tidur siang”, jawab Muawiyah. Umar berkata, “Buruk sekali apa yang engkau ucapkan dan alangkah jeleknya apa yang engkau sangkakan. Kalau aku tidur di siang hari, maka aku menelantarkan rakyatku. Dan jika aku tidur di malam hari, aku menyia-nyiakan diriku sendiri (tidak shalat malam). Bagaimana bisa tertidur pada dua keadaan ini wahai Muawiyah?”

Umar berkata, “Jika ada seekor Unta mati karena disia-siakan tidak terurus. Aku takut Allah memintai pertangung-jawaban kepadaku karena hal itu. Unta saja ia perhatikan nasibnya, apatah lagi rakyatnya. Adakah pemimpin negeri ini berlaku demikian? Yang ada justru saling lempar jawaban. Berlepas diri dari tanggungjawabnya.

‘Bukan urusan saya’ harusnya tak menjadi jawaban favorit manakala ditanya. Mudah menjawab, tapi minim tanggungjawab. Ingatlah, kepemimpinan itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Memimpinlah dengan cara yang diajarkan Islam. Tunduk dan taat dengan syariahNya. Pemimpin berkah hanya jika ia taat pada Rabbnya. Pemimpin celaka tatkala ia berlaku curang dan menipu rakyatnya. Saat itu terjadi, maka kepemimpinannya bukan lagi urusan kami. Namun, sudah menjadi urusan mereka dengan Allah Ta’ala.

Ketika rasa takut tak lagi ada, curang menjadi lumrah, khianat fenomena biasa, dan dunia mengalihkannya, akhirat pasti melupakannya. Itulah pesan Allah dalam firmanNya: “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang bisa melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”. (Q.S. Thaha : 124-126).

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button