NUIM HIDAYAT

Childfree: Mau Bebas atau Bahagia?

Gita Savitri mendadak terkenal. Terutama karena idenya untuk tidak mempunyai anak. Ia dan suaminya sepakat tak punya anak.

Kontan pendapat Gita ini mendapat sokongan dari kaum feminis. Merepotkan. Perempuan kan bebas milih punya anak atau nggak. Laki-laki gak merasakan sih. Sebagaimana bebas punya anak, memutuskan nikah atau tidak juga bebas. Begitulah kira-kira argumen kaum feminis.

Bagi mereka yang merasakan atau takjub kehidupan Barat, maka childfree adalah hal biasa. Sebagaimana ‘marriedfree’. Banyak gadis Barat yang memutuskan tidak mau menikah, apalagi punya anak.

Kaum sekuler liberal memang melihat dunia ini adalah segalanya. Mereka tidak mau repot. Mereka hanya ingin bersenang senang di dunia ini. Bila kesenangan mereka terganggu maka mereka melawannya. Mereka tidak mau berpikir jauh soal generasi, apalagi soal kehidupan setelah dunia. Kehidupan adalah kini dan di sini.

Itulah yang menyebabkan kerusakan dunia. Pandangan yang ‘miopik’ ini menjadikan rusak masyarakat. Sehingga kini Barat sendiri kebingungan karena minusnya pertumbuhan penduduk. Kebanyakan penduduk mereka adalah kaum tua.

Di Jerman, Jepang, Singapura, Australia dll memberi insentif bagi keluarga yang punya anak. Karena mereka tidak ingin negaranya sirna, karena hilangnya generasi. Meski demikian para gadisnya tetap banyak senang menjomblo alias tidak mau menikah.

Bagi kaum feminis, menikah atau punya anak memang merepotkan. Bahkan dikampanyekan sesama mereka kalo menikah itu menjadikan perempuan menjadi budak atau bawahan lelaki. Mereka ingin punya derajat yang sama dengan lelaki. Mereka tidak ingin menjadi bawahan, diperintah atau menjadi orang kedua. Mereka ingin bisa menjadi presiden, wakil rakyat, sopir, petinju, pemain bola dll. Kesetaraan gender yang mereka dengungkan itulah yang akhirnya membuat lahirnya freechild ini.

Childfree lahir karena pandangan kebebasan atau freedom yang salah. Mereka menyangka kebebasan adalah landasan kehidupan. Maka mereka menggelorakan kebebasan pakaian, kebebasan makanan, kebebasan pernikahan, kebebasan bicara dll. Mereka lupa kebebasan itu justru dapat menyebabkan kerusakan.

Presiden George W Bush, ketika terjadi tragedi WTC 11 September 2001 menyatakan, “Mereka bisa menghancurkan gedung-gedung kami, tapi mereka tidak bisa menghancurkan landasan kami, kebebasan.”

Jadi kebebasan memang mantra Barat untuk kehidupan dunia ini. Padahal kebebasan seringkali justru merusak manusia. Lihatlah kebebasan berpakaian menjadikan banyak gadis-gadis peragawati terlibat dalam dunia pelacuran, kebebasan minuman menjadikan banyaknyak minuman keras beredar, kebebasan seksual menjadikan tumbuh LGBT dan seterusnya.

Kebebasan punya anak atau tidak, bila dikampanyekan juga berbahaya. Karena menjadikan keluarga tidak punya cita-cita lagi untuk mempunyai anak-anak yang shalih. Generasi yang akan meneruskan cita-cita orang tuanya untuk berbuat baik di dunia ini.

Maka kata Buya Hamka, manusia di dunia ini sebenarnya bukan cari kebebasan, tapi cari kebahagiaan. Manusia sejak zaman nabi Adam, Yunani sampai sekarang mencari kebahagiaan. Tapi malangnya banyak para filosof atau tokoh yang salah mendefinisikan kebahagiaan. Bahkan di antara mereka ada yang menyatakan bahwa kebahagiaan itu tidak bisa diraih.

Al-Qur’an memberikan kata putus soal kebahagiaan ini. Yaitu mereka yang taat pada Allah dan RasulNya akan mencapai bahagia yang sebenarnya. Allah SWT menyatakan, “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya maka ia akan memperoleh kebahagiaan yang agung.” []

Nuim HidayatAnggota MIUMI dan MUI Depok.

Artikel Terkait

Back to top button