MUHASABAH

Corona: Fenomena Krisis Iman dan Ujian Ketauhidan

Hadirnya korona termasuk peristiwa yang luar biasa sekaligus bombastis. Menyebar secepat kilat hanya dalam hitungan tak terkendali. Sampai dunia dibuat tercekat, Pemimpin dunia dibuat sibuk. Melumpuhkan ragam bidang dan menyusupkan kecemasan pada siapapun saja. Sampai penjara dipenuhi orang yang berdebat karenanya. Berbeda dan tak sejalan dipaksa tunduk saja. Pandemik mengerikan di tengah arus modernisasi yang– katanya iptek bisa menyelesaikan apa kasus apa saja. Sampai Tuhan tak dianggap ada, sebab Tuhan hanya rekaan akal sempit manusia. Di tangan wabah, apa daya di mana-mana jerit terdengar jua.

Menarik sekaligus miris menyaksikan pandemik Covid-19. Menariknya, kenapa selama ini bisa kita kecolongan. Sampai para ahli kesehatan pun dibuat kaget, yang entah kenapa para peneliti seolah ikut terheran: sopo iki korona?

Mirisnya, korona merambat tak hanya pada faktor ekonomi, politik sampai pada jalur spiritual, yang esensial sekaligus urgent. Sebuah ketakutan yang mengerikan. Di depan korona kita dibuat tak berdaya, atau ini sentilan keras pada jiwa resah yang bangga pada penemuan ilmiah lantas memilih melupakan pada Yang Maha Kuasa, Pemilik Alam Semesta ini.

Seringkali saya melihat dan mendengarkan keluhan kalangan yang pendapatannya menyusut diterjang korona. Sampai takut bisa “tidak makan”, karena PHK dan sulitnya menambah puing rupiah ke sakunya. Padahal Allah janjikan bahwa setiap makhluk akan dicukupi rizkinya, cukup menurut kadar yang Allah atur. Sampai di sini, apa bukan berarti keluhan juga ketakutan itu tanda krisis iman di tengah pandemik yang menggila? Atau memang Tauhid yang mulai melemah karena kurang pengetahuan? Sungguh, ini fenomena di era yang buat kita tak bisa menutup mata. Akan ke mana nanti kita dan bagaimana kita harus menyikapinya. Kembali, pembaharuan iman yang menipis di dada perlu kiranya kita perhatikan bersama.

Jaddidu iimaa nakum kata nabi. Perbaharui imanmu. Dalam konteks apa? Tentu dalam penyikapan yang cerdas dengan tidak mengabaikan keyakinan yang ada. Saran dan anjuran nakes kita dengar, tidak lupa kualiatas keislaman kita tingkatkan. Jangan sampai jasad kita kuat di lain tempat kualitas iman kerontongan. Bukankah kita tahu bahwa iman manusia itu tidak tetap, ada saatnya melemah ada saatnya meningkat. Coba tanyakan, di tengah pandemik sekarang mana yang menonjol. Pelemahan mengarah pada tergerusnya tauhid di jiwa atau kenaikan iman sehingga mendorong kepada kualitas jiwa nan prima?

Untuk itu, kenapa orang bijak tak bosan mengajak kita untuk terus muhasabah. Sampai nabi pesankan agar Ummat-nya tidak lupa merenungkan ciptaan-Nya. Ciptaan-Nya tak selalu yang berbentuk material saja, bahwasannya pandemik pun itu bagian yang dicipta untuk menguji iman kita. Akankah tetap stabil atau terjun bebas? Jawabannya ada di tangan kita.

Menarik membaca spanduk dipinggir jalan: menghadapi korona, tetap waspada dan jangan panik! Ada pesan jelas di sana untuk kita tetap eling dan berpikir cerdas menghadapi krisis yang ada. Pada sejarah kita bisa belajar terkait pandemik yang menyapa peradaban manusia. Entah pandemik Setan Merah di abad 13, Mars atau Flu Burung hingga Flu Babi, dengan izin-Nya juga ikhtiar sungguh-sungguh manusia terselamatkan dari ancaman kepunahan. Mari tetap waspada dan terus tingkatkan iman kita, apapun yang terjadi semua pasti ada hikmahnya. Jangan lalai dari kasih sayang-Nya. Wallahu ‘alam. (*)

Pandeglang, 27/7/21

Mahyu An-Nafi

Artikel Terkait

Back to top button