SUARA PEMBACA

Depolitisasi Ulama Bentuk Pengokohan Rezim

Setelah wafatnya Rasulullah Saw, para sahabat menjadi rujukan umat dalam setiap urusan. Kemudian generasi selanjutnya adalah tabi’in yang disebut sebagai generasi salaf atau salafus shalih. Setelah itu, digantikan dengan ulama mutaqaddimin. Mereka semua mendapat pengakuan langsung dari Allah SWT dan Rasulullah Saw.

Dalam Hadits Riwayat Ad-Dailami dari Anas r.a, Rasulullah Saw bersabda: ittabi’ul ulama’a fainnahum suruuhud dunyaa wamashaa biihul akhirah. “Ikutilah para ulama karena sesungguhnya mereka adalah pelita-pelita dunia dan lampu-lampu akhirat.” (HR Ad-Dailami).

Istilah ulama, berasal dari kata jamak ‘alim yaitu orang yang berilmu, dan hamba Allah yang paling takut kepada-Nya. Karena itu, Dr Ahmad al-Qashash, membedakan antara ulama dengan muta’allimin. Sebab, ulama bukan hanya orang yang berilmu, tetapi juga orang yang sangat takut kepada Allah SWT. Sedangkan orang yang berilmu, tetapi tidak mempunyai rasa takut kepada-Nya, tidak layak disebut ulama, melainkan hanya muta’allimin atau kaum terpelajar. Deskripsi ini didasarkan pada firman Allah SWT yang menyatakan: “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Q.s. Fathir [35]: 28)

Para ulama dengan keilmuannya yang mumpuni itu merupakan hamba Allah yang memiliki martabat dan kemuliaan. Martabat dan kemuliaan yang pada akhirnya dikenang dan diabadikan dalam sejarah karena sikap dan pendirian mereka. Bukan semata-mata karena kedalaman dan kemumpunian ilmu mereka. Keberadaan ulama mendatangkan rahmat, bukan laknat. Dakwahnya juga merangkul, bukan memukul, mengajak bukan mengejek. Di sinilah esensi para ulama.

Harapan umat kepada ulama sangatlah besar, karena ulama adalah rujukan umat dalam setiap urusan. Kedudukan ulama mempunyai pengaruh yang cukup besar dan kuat bagi umat. Hal itu yang menarik perhatian rezim saat ini untuk bisa menggandeng ulama dalam rangka mendapatkan dukungan yang besar dari umat untuk mengokohkan misi-misi jahat mereka berkuasa dalam sistem sekuler.

Upaya rezim dalam mengaruskan ulama dinilai cukup berhasil. Faktanya nampak jelas didepan mata kita keberadaan ulama yang berusaha menjauhkan muslim dari Islam dengan menafsirkan al Quran dan as Sunnah sekehendak nafsu mereka. Mereka menjilat ke penguasa dan menjadikan kaum kafir sebagai karib –karibnya. Itulah yang dikatakan sebagai ulama sû’. Al Allamah Al-Minawi dalam Faydh al-Qadîr Syarah Jami’ Shogir dari Imam Syuyuthi, mengatakan: “Bencana bagi umatku (datang) dari ulama sû’, yaitu ulama yang dengan ilmunya bertujuan mencari kenikmatan dunia, meraih gengsi dan kedudukan. Setiap orang dari mereka adalah tawanan setan. Ia telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dikuasai oleh kesengsaraannya. Siapa saja yang kondisinya demikian, maka bahayanya terhadap umat datang dari beberapa sisi. Dari sisi umat; mereka mengikuti ucapan- ucapan dan perbuatan-perbuatannya. Ia memperindah penguasa yang menzalimi manusia dan gampang mengeluarkan fatwa untuk penguasa. Pena dan lisannya mengeluarkan kebohongan dan kedustaan. Karena sombong, ia mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui.” (Faydh al-Qadîr, VI/369.)

Kini, ulama yang menjadi panutan dan dihormati, akhirnya tergerus oleh opini kotor dan sadisnya politik yang kotor dan penuh intrik dalam sistem Kapitalisme-Sekuler. Pada situasi seperti inilah kemudian muncul seruan untuk mengembalikan ulama pada habitatnya non-politik. Dengan dalih menyelamatkan martabat dan kehormatan ulama. Padahal sadar atau tidak, upaya depolitisasi ulama adalah bentuk pengokohan kekuasaan rezim dalam sistem Kapitalisme -Sekuler. Karena, upaya ini akan menggusur peran dan tangungjawab ulama dan umat dalam perjuangan untuk mengembalikan kehidupan Islam di tengah-tengah umat. Wallahu’alam.

Ufairah Aabidah, S.Pd
Ibu Rumah Tangga, Alumni UNJ

Artikel Terkait

Back to top button