SAKINAH

Dilema ‘Pengantin Belia’

“Masih kecil sudah punya anak, kasihan masa depannya”, “Daripada berzina, lebih baik dinikahkan saja”, “Beban ekonomi orang tua akan ringan jika anak dinikahkan lebih dini”, ” Nikah dini nggak dilarang agama kok, apa salahnya?”, “Masa depan masih panjang, jangan keburu nikah.”

Itulah sejumlah lontaran mengenai pro dan kontra perkawinan anak. Dalam seminar yang digelar secara virtual di Kantor Majelis Umat Pusat pada Kamis (18/3), pemerintah dan MUI akan mendeklarasikan Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan yang bertujuan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Salah satu usaha mewujudkan deklarasi tersebut ialah mendorong pendewasaan usia perkawinan. Kemenag pun ikut mengamini gerakan tersebut. Menurut Menag, Yaqut Cholil Qoumas, pendewasaan usia perkawinan dan pencegahan usia perkawinan anak merupakan program yang tepat untuk memberi jeda kepada calon pengantin sehingga mereka dapat mempersiapkan diri baik secara fisik mental emosional pendidikan bahkan finansial. (Republika, 18/3/2021)

Mengurai Polemik Perkawinan Anak

Maraknya perkawinan anak mendapat banyak sorotan berbagai pihak. Baik dari aktivis gender, ulama, dan Kementerian PPPA. Dikutip dari Antaranews.com (17/3/2021), Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat 34 ribu permohonan dispensasi kawin sepanjang Januari-Juni 2020. Dari jumlah tersebut, 97 persen dikabulkan dan 60 persen yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun.

Jumlah permohonan dispensasi kawin tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 23.700 permohonan. Permohonan dispensasi dilakukan lantaran salah satu atau kedua calon mempelai belum masuk usia 19 tahun berdasarkan hukum UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974.

Pembatasan/ Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya meningkatkan usia perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal saat perkawinan yaitu 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. Menurut BKKBN, Pendewasaan Usia Perkawinan biasanya dilatarbelakangi karena: (1) banyaknya kasus pernikahan dini; (2) banyaknya kasus kehamilan tak diinginkan; (3) pertumbuhan penduduk semakin cepat; (4) kualitas SDM rendah; (6) keluarga yang tidak harmonis, sering cekcok, terjadi perselingkuhan, KDRT, dan rentan terhadap perceraian.

Dari banyaknya kasus yang melatarbelakangi maraknya perkawinan anak, semestinya kita bisa menyimpulkan bahwa faktor sistem yang diterapkan negeri inilah biang keladi masalah nikah dini. Mengapa demikian? Mari kita urai satu per satu.

Pertama, nikah dini karena impitan ekonomi. Andai negara mampu memberi jaminan kehidupan ekonomi dengan menyediakan kebutuhan pokok masyarakat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan rasa aman yang layak, tentu para orang tua tidak akan begitu mudah menikahkan anaknya di usia dini.

Anak dianggap menjadi beban ekonomi keluarga. Daripada terus menjadi beban, lebih baik dinikahkan. Mereka mengambil jalan instan agar impitan ekonomi tidak semakin berat dijalani. Semua itu bermula karena tidak terpenuhinya kebutuhan dasar mereka. Mikir masa depan anak, makan, pendidikan, dan segala kebutuhan mereka.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button