OPINI

E-KTP Tercecer Negeri Dilan(da) Geger

Peristiwa tercecernya e-KTP masih membuat negeri dilan(da) geger. Karena masih meninggalkan misteri yang menimbukan tanda tanya besar di tengah publik. Apatah lagi peristiwa ini terjadi sebelum ajang pilkada serentak 2018.

Seperti diberitakan republika.co.id, 28/5/2018, pada Sabtu (26/5), sebuah video viral menunjukkan ribuan e-KTP tercecer di kawasan simpang Salabenda, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Menurut pengakuan warga sekitar, e-KTP yang tercecer berasal dari dua kardus yang jatuh dari sebuah truk bak terbuka.

Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Zudan Arif Fakrulloh, dalam keterangan persnya, Minggu (27/5/2018) menyatakan e-KTP yang tercecer itu adalah e-KTP rusak. Benda itu sedang menempuh perjalanan dari gudang sementera di Pasar Minggu Jakarta Selatan menuju Gudang Kemendagri di Semplak, Bogor, Jawa Barat (detik.com, 27/5/2018).

Meski pihak Kementerian Dalam Negeri sudah menegaskan bahwa e-KTP yang tercecer itu adalah e-KTP rusak alias invalid, namun banyak anggota DPR yang angkat bicara tak percaya begitu saja sebelum penyelidikan menyeluruh selesai dilakukan.

Anggota Komisi II DPR dari PKS, Al Muzzammil Yusuf, adalah salah satu orang yang mendorong peristiwa ini untuk diusut dan dibongkar. Khawatirnya, ada mafia pemalsuan dokumen.

Senada dengan Al Muzzammil Yusuf, Wakil Ketua Komisi II DPR, Mardani Ali Sera menilai peristiwa e-KTP tercecer sebagai bentuk keteledoran pemerintah. Kalau jelas-jelas e-KTP itu rusak, maka seharusnya segera saja dimusnahkan, bukan diperjalankan jauh (detik.com, 27/5/2018).

Sementara politisi Gerindra, Fadli Zon dalam cuitan di akun Twitternya, pada Rabu, 30/5/2018, Kemendagri adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Fadli Zon menilai penjelasan terang dari Kemendagri dibutuhkan karena kejadian di Bogor menimbulkan banyak prasangka. Apalagi tahun ini digelar pilkada serentak dan pemilu 2019 semakin dekat.

Menindaklanjuti gegernya peristiwa e-KTP tercecer, Komisi II DPR melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke gudang penyimpanan e-KTP invalid atau bermasalah di Bogor, Jawa Barat, Senin (28/5/2018).

Wakil Ketua Komisi II DPR, Nihayatul Wafiroh yang memimpin langsung sidak tersebut menyatakan, terdapat 805 ribu e-KTP bermasalah dari seluruh Indonesia yang tersimpan di gudang tersebut selama lebih kurang 8 tahun.

Seluruh e-KTP bermasalah itu mengalami dua macam kesalahan. Pertama, kesalahan teknis, seperti salah cetak halaman depan dan belakang. Kedua, kesalahan non-teknis, seperti nama keliru, status salah, dan NIK tidak benar.

Dari dua jenis kesalahan tersebut, Ninik menilai, jenis kekeliruan yang kedua sangat rawan untuk diselewengkan dalam pemilihan umum (pemilu). Sebab, kata dia, kesalahan semacam itu hanya bisa dibuktikan dengan melihat ke sistem daring yang dimiliki Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).

Sedangkan sampai saat ini, kata Ninik, belum ada alat pendeteksi e-KTP di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sehingga, sangat mungkin e-KTP invalid lolos begitu saja digunakan pihak tertentu untuk melakukan kecurangan dalam pemilu (tirto.id, 30/5/2018).

Terlepas dari geger sebab e-KTP tercecer, peristiwa ini harusnya dapat membuka mata kita. Menjadi gambaran nyata bahwa dalam sistem sekularisme, yang melahirkan demokrasi terbukti rentan menghalalkan segala cara untuk memenangkan pesta demokrasi.

Di satu sisi masyarakat kesulitan mendapatan e-KTP, sebab berbelitnya sistem pelayanan pembuatan e-KTP. Di lain sisi publik digegerkan e-KTP tercecer yang katanya rusak/invalid yang berpotensi disalahgunakan untuk tahun panas politik.

Bukan kali ini saja masyarakat disuguhi dengan drama curang ala politik pragmatis. Mengingat kerap terjadi kecurangan di sejumlah daerah menjelang pilkada mau pun pemilu.

Mahalnya ongkos demokrasi menjadikan para calon wakil rakyat berlomba-lomba menarik simpati rakyat demi pundi-pindu suara. Menghalalkan segala cara demi meraih suksesi.

Tapi setelah memenangkan pesta demokrasi, predikat wakil rakyat hanya ilusi. Atas nama rakyat aset negara diobral bebas ke tangan asing. Subsidi untuk rakyat dihilangkan, katanya untuk menarik investasi. Kebijakan-kebijakan pro asing pun dilahirkan demi mengejar pengembalian modal pesta demokrasi.

Fakta hari ini, undang-undang yang lahir dari rahim demokrasi, misal UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Migas, UU SJSN dan BPJS, dan sejumlah UU lainnya dibuat tidak lain adalah untuk menguntungkan para kapitalis dengan rakyat sebagai tumbalnya.

Demokrasi telah menjadi alat untuk “menghabisi” dan merenggut hak hidup manusia. Maka tidak salah jika John Adams mengatakan demokrasi lebih berdarah ketimbang Aristokrasi atau Monarki.

Dan ini bukanlah sesuatu hal yang mengagetkan. Mengingat Plato dan Aristoteles sebagai bidan yang membantu lahirnya sistem demokrasi ini telah mengatakan bahwa demokrasi dari lahirnya sudah cacat.

Peristiwa e-KTP tercecer merupakan salah satu bukti buramnya demokrasi. Tapi di satu sisi peristiwa tak terduga ini merupakan isyarat dari Allah Ta’ala untuk membuka bobroknya rezim saat ini. Demokrasi yang selama ini diagung-agungkan, bahkan dijadikan alat untuk memukul Islam, ternyata penuh manipulasi dan tipu-tipu.

Timbul pertanyaan melihat kondisi hari ini. Mau sampai kapan rakyat terus dibohongi atas nama demokrasi? Mau sampai kapan sistem yang telah cacat dari lahir ini terus dipertahankan? Mau sampai kapan ummat ini menjadi tumbal demokrasi?

Mengutip pernyataan John Adams bahwa demokrasi akan segera menemui ajalnya, demokrasi tidak pernah berumur panjang. Maka bagi orang-orang yang berakal menjadi bahan renungan bersama, tentunya meninggalkan demokrasi adalah sebuah pilihan cerdas.

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(TQS al-Maidah [5]: 50).

Wallahu’alam bishshawwab.

Ummu Naflah
Penulis Bela Islam, Member Akademi Menulis Kreatif

Artikel Terkait

Back to top button