NASIONAL

Fatwa Persis tentang BPJS: Hukumnya Haram dan Minta Pemerintah Keluarkan BPJS Syariah

Jakarta (SI Online) – Pimpinan Pusat Persatuan Islam melalui dewan hisbahnya mengeluarkan fatwa tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Berikut keterangan lengkap tentang keputusan PP Persis tentang BPJS yang dirilis Persis.or.id pada Rabu lalu (4/9/2019):

Fatwa Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persatuan Islam tentang BPJS

Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persatuan Islam (DH PP Persis) dalam Keputusan Sidangnya (baca: fatwa) menyatakan bahwa BPJS yang faktanya tidak bisa melepaskan diri unsur riba, maisir, jahalah, gharar, ruqba dan umra hukumnya haram. Maka dari itu, Dewan Hisbah mendesak agar segera disediakan layanan BPJS yang bebas dari unsur riba, maisir, jahalah, gharar, ruqba dan umra, sehingga hukumnya menjadi mubah.

Meski kemasannya “Jaminan Kesehatan Sosial” Dewan Hisbah menemukan fakta bahwa BPJS ini adalah asuransi sosial. Artinya asuransi biasa sebagaimana halnya asuransi lainnya, meski bergerak dalam layanan sosial. Asuransi yang diterapkannya itu sendiri adalah asuransi konvensional, sebab memang merupakan kelanjutan atau perubahan nama dari ASKES dan Jamsostek. Maka dari itu ditemukan adanya unsur maisir, ruqba, dan umra, yaitu harta dikumpulkan dalam bentuk premi/iuran dan akan mendapatkan bagian/tunjangan bila terjadi sesuatu (yang berkaitan dengan kebutuhan medis).

Dalam praktiknya, semua peserta BPJS baik miskin maupun kaya wajib membayar iuran dan akan didenda bila terjadi keterlambatan pembayaran. Dari iuran ini akan mendatangkan manfaat bila sakit dan berkebutuhan terhadap penanganan medis. Tetapi bila tidak terjadi, maka uang ini hangus dan digunakan oleh orang lain yang membutuhkan penanganan medis.

Jika kemudian dinyatakan bahwa uang yang hangus itu akadnya gotong royong atau ta’awun kepada pihak yang membutuhkannya, maka Dewan Hisbah menilai di dalamnya ada ketidakjelasan (jahalah). Ketidakjelasan itu ada karena akad gotong royong atas sejumlah uang tertentu dengan nama iuran/premi merupakan peraturan yang memaksa dan mengikat. Terutama ditambah beban denda keterlambatan yang akan semakin memberatkan orang miskin atau yang tidak ditanggung preminya oleh negara. Ini tentu bukan gotong royong atau ta’awun, tetapi pemaksaan, untuk tidak disebut pemalakan.

Jika memang gotong royong atau ta’awun, belum terjadi ada orang kaya menolong orang miskin secara teratur dan terencana (kalkulatif). Yang terjadi semua berdasarkan spekulatif (untung-untungan/maisir/perjudian). Bahkan pada praktiknya orang kaya dibantu oleh kumpulan uang iuran orang miskin. Ini tentu bukan gotong royong, tetapi murni asuransi maisir (perjudian). Sebab orang-orang kaya ikut BPJS bukan sebagai orang yang membutuhkan pertolongan, tetapi dengan niat mendapatkan keuntungan “untung-untungan” (maisir/perjudian). Ketika faktanya ia terbantu oleh uang fakir miskin, jelas ini bukan ta’awun, tetapi semacam pemerasan.

Maka dari itu, Dewan Hisbah menegaskan bahwa BPJS Kesehatan dalam praktiknya belum benar-benar bersih dari unsur-unsur maisir (untung-untungan/perjudian), ruqba (hibah bersyarat), dan umra (hibah bersyarat selama hidup) yang dilarang oleh Rasulullah saw dan tidak sesuai dengan ruh ta’awun ‘alal-birri wat-taqwa (saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa).

Di samping itu, Dewan Hisbah menilai bahwa pengalihan tanggung jawab Negara dalam pelayanan publik kepada rakyat adalah gharar (penipuan). Dana yang terkumpul di BPJS juga faktanya diinvestasikan di lembaga keuangan konvensional yang menerapkan sistem riba, sehingga unsur riba masih melekat erat di dalamnya.

Meski demikian, mengingat keberadaannya yang sangat diperlukan bagi rakyat miskin, maka Dewan Hisbah membenarkan jika ada orang miskin mengikuti BPJS dengan alasan darurat. Darurat itu artinya pilihan terakhir sesudah tidak ada lagi bantuan dari lembaga-lembaga zakat/sosial Islam lainnya. Darurat itu juga tidak diniatkan (ghaira baghin) dan tidak berlebihan (wa la ‘adin). Jadi tidak dari sejak awal sudah daftar BPJS. Di samping itu, jika sudah selesai, maka sudah berhenti, jangan terus-terusan membayar iuran/premi (sumber: Sidang Terbatas Dewan Hisbah, Cibegol, Soreang, 8 Desember 2014 M).

Semoga ketegasan fatwa ulama yang dikuti dengan sami’na wa atha’na dari umat bisa segera mendesak pemerintah untuk mewujudkan layanan BPJS yang syari’ah. Wal-‘Llahul-Musta’an

red: adhila

Artikel Terkait

Back to top button