OPINI

Framing Intoleransi Berkedok Data Survei

Isu intoleransi kembali menjadi perbincangan sensitive pasca dirilisnya Indeks Kota Toleran (IKT) 2018 oleh Setara Institute.

Indeks yang berisi penilaian kuantitatif atas toleran atau tidaknya suatu kota, menempatkan Singkawang, Salatiga, dan Pematang Siantar di posisi tiga teratas dengan perolehan skor tertinggi sebesar 6,513. Sementara di urutan tiga terbontot, Jakarta memperoleh skor 2,880, Banda Aceh 2,830, dan Tanjungbalai 2,817.

Kontroversi pun bergulir di tengah publik. Ada yang menilai hasil studi itu sepihak dan mempertanyakna keabsahannya. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, misalnya, mengatakan dirinya ingin meninjau lebih dalam riset tersebut. Ia khawatir adanya pengaruh luar terhadap studi tersebut. Diketahui Jakarta adalah salah satu dengan indeks terbawah.

Hal senada juga disampaikan beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh, Sabri Badruddin dan Irwansyah. Keduanya turut mempertanyakan kesahihan hasil studi tersebut, sembari menambahkan bahwa studi itu tidak mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi di tingkat masyarakat (tirto.id, 14/12/2018).

Sementara langkah hukum akan diambil Pemerintah Kota Banda Aceh menyikapi hasil survei Setara Institute yang menyebut Banda Aceh masuk katagori kota intoleran urutan kedua paling bawah dengan skor 2,830 setelah DKI Jakarta. Wali Kota Banda Aceh Aminullah memprotes keras hasil survei tersebut. Ia tidak terima Banda Aceh disebut sebagai kota intoleran. Sebab kata dia, selama ini warga di Banda Aceh hidup harmonis berdampingan dengan masyarakat yang bukan beragama Islam.

Masih menurutnya, hasil penilaian tersebut dapat merugikan kota Banda Aceh. Mengingat Banda Aceh sudah berulang kali setiap tahunnya dikatakan daerah intoleran oleh lembaga tersebut. Faktanya warga Banda Aceh yang mayoritas muslim telah lama hidup rukun dan berdampingan dengan warga non muslim. Dari zaman dahulu hingga saat ini warga non Muslim masih bertahan tinggal di Banda Aceh (kumparan.com, 11/12/2018).

Cendekiawan Aceh, Dr Muhammad Yusran Hadi Lc MA, juga selaku Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) yang juga Pengurus Dewan Dakwah Aceh dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara, menyatakan pernyataan Setara Institute itu tidak benar. Menurutnya, survei tersebut tidak didukung oleh data yang valid dan fakta yang ada. Ini jelas pembohongan publik. Survei tersebut sama saja menuduh syariat Islam yang selama ini diberlakukan di Aceh telah menciptakan kehidupan intoleran di Aceh, khususnya di Banda Aceh sebagai ibukota provinsi Aceh. Tentu saja survei ini telah melukai hati umat Islam di Aceh, khususnya di Banda Aceh.

1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button