OPINI

Gaduh Daftar Mubaligh: Dicari Ulama Dambaan Umat!

Kementerian Agama mengeluarkan daftar mubaligh terekomendasi. Namun, dari 200 mubaligh tersebut tidak ada nama Ustaz Abdul Somad dan sejumlah ustaz kondang lainnya.

Selain Ustaz Somad, tidak ada juga nama Ustaz Adi Hidayat, Ustaz Hanan Attaki, dan Ustaz Khalid Basalamah yang ‘merajai’ laman Youtube. Selain itu tidak ada juga nama KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya), Ustaz Felix Siauw, dan Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab.

Menag menjelaskan, pada tahap awal Kemenag merilis 200 daftar nama muballigh. Ratusan mubaligh tersebut, kata Menag, dipilih karena memenuhi tiga kriteria.

“Yaitu mempunyai kompetensi keilmuan agama yang mumpuni, reputasi yang baik, dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi,” ucap dia. (Republika.co.id, 18/5/2018)

Belum kelar gaduh-gaduh aksi bom teror. Masyarakat kembali digaduhkan dengan sederet daftar ustaz rekomendasi yang dirilis Kemenag. Walau telah ada penegasan dari Kemenag bahwa menjadi kelonggaran masyarakat untuk mengundang siapa pun da’i, ustaz dan mubaligh pilihan masyarakat.

Tapi nyatanya daftar ustaz yang direkomendasikan Kemenag tak dapat dipungkiri telah memberikan pengaruh psikologis di tengah masyarakat. Pertama, adanya daftar ustaz rekomendasi ala Kemenag dapat menimbulkan pengkotakan terhadap para da’i, ustaz dan mubaligh di masyarakat. Masyarakat akan mengindra mana penceramah yang rekomended, mana pula penceramah yang tidak rekomended berdasarkan daftar ustaz tersebut.

Hal ini dikhawatirkan berimbas pula timbulnya pengkotakan masjid. Yaitu mana masjid yang penceramahnya dari rekomendasi Kemenag, mana masjid yang tidak memakai penceramah dari daftar ustaz rekomendasi Kemenag.

Tentunya ini bukan yang diharapkan oleh umat. Apatah pagi di bulan Ramadhan yang merupakan momentum persatuan dan mengeratkan ukhuwah. Di mana umat justru menginginkan para ulamanya bersinergi membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang dinaungi dengan ketaatan terhadap aturan-aturan-Nya. Serta menjadikan Islam sebagai tolok ukur seorang ulama dalam menyampaikan amar makruf nahiy munkar di masyarakat yang tengah diliputi kelamnya sistem jahiliah.

Kedua, timbulnya kekhawatiran terjadi depolitisasi materi dakwah. Penyampaian materi dakwah yang dibatasi misal hanya terhadap masalah akidah, ibadah mahdhah tanpa menyentuh aspek politik Islam, justru dapat memasung ajaran Islam sendiri. Peyampaian materi Islam secara parsial justru membahayakan identitas umat dan menjauhkan umat dari label umat terbaik.

Bukan itu saja, dijauhkannya ajaran politik Islam dari dakwah akan berpengaruh terhadap kehidupan umat dalam menyikapi berbagai aspek yang lebih luas. Tumpulnya sisi politis umat membuat umat kehilangan arah dalam menyalurkan aspirasi politiknya.

Terjadi pula kekhawatiran hilangnya jiwa kepedulian terhadap kondisi bangsa dan negerinya. Berujung pada ketidakpedulian untuk melakukan koreksi atas kesalahan dan kezaliman kebijakan penguasa. Inilah yang menjadi awal dari rapuhnya bangunan suatu negara.

Ulama Dambaan Umat

Ulama adalah pewaris para nabi. Pengemban hujjah Allah Ta’ala di muka bumi. Pemberi petunjuk di tengah gelapnya kehidupan dunia yang terbelenggu sistem rusak. Petunjuk yang dibawa dari ajaran yang mulia yang diturunkan Allah Ta’ala kepada kekasih-Nya, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam.

Dari Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam pula para ulama ini diwarisi ilmu agama serta keteguhan untuk berjalan melewati setiap hambatan dan rintangan dalam menyampaikan risalah.

Maka adalah hal yang lumrah jika umat mendambakan ulama yang berkarakter seperti para ulama generasi awal umat ini. Berikut beberapa karakter ulama sebagaimana yang dikabarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

Pertama, menurut Iman Nawawi Al-Bantani ciri-ciri ulama pewaris nabi antara lain: (1) memiliki keimanan yang kokoh, ketakwaan yang tinggi, berjiwa istiqamah dan konsisten terhadap kebenaran; (2) memiliki sifat-sifat kerasulan: jujur (shiddiq), amanat (amanah), cerdas (fathanah) dan menyampaikan (tabligh); (3) faqih fi ad-Din sampai rasikhun fi al-Ilm’; (4) mengenal situasi dan kondisi masyarakat; (5) mengabdikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan dan menegakkan ajaran Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kedua, takut kepada Allah Ta’ala: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di kalangan hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (TQS Fathir: 28).

Dalam ayat tersebut dengan tegas Allah Ta’ala menyebutkan bahwa yang menjadikan sebutan ulama begitu istimewa dibandingkan dengan hamba-hamba Allah yang lain adalah rasa takut mereka kepada-Nya. Rasa takut kepada Allah Ta’ala itulah yang menjadi sifat para ulama yang paling menonjol.

Ketiga, mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Para ulama akhirat tidak menyembunyikan ilmu apalagi memutarbalikkan hukum-hukum syariat. Mereka yakin akan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 159 yang artinya : “ Sesungguhnya orang yang menyembunyikan apa yang telah datang dari Kami berupa keterangan – keterangan yang jelas dan petunjuk, setelah Kami menerangkan kepada manusia dalam al Qur’an, mereka dilaknat pula oleh semua makhluk yang bisa melaknat”.

Keempat, tidak akan berpihak kepada kezaliman. Allah Ta’ala secara tegas menyatakan: “Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang berbuat zalim, yang menyebabkan kalian disentuh api neraka.” (TQS Hud ayat 113).

Menurut Ibnu Juraij lafadz “Laa Tarkanuu” berarti “jangan cenderung kepadanya”. Sedangkan menurut Abu Aliyah lafadz tersebut bermakna “janganlah meridhai perbuatannya”. Allah Ta’ala melarang cenderung kepada orang-orang yang berbuat zalim dikarenakan dalam keberpihakan tersebut terkandung keridhaan dan pengakuan atas kekufuran, dan kezalman yang mereka lakukan. Pengakuan ini dipandang sebagai peran serta dalam berbuat dosa.

Kelima, ulama itu tidak menjadikan perbedaan dalam masalah furu’ sebagai sumber konflik. Ada ungkapan yang populer dari Imam Syafi’i:

“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.”

Dalam kerangka yang sama, Imam Ahmad bin Hambal pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab Ahmad bin Hambal sendiri yang menyatakan bahwa yang dianjurkan bagi orang yang shalat adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Ahmad demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah, waktu itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama-ulama Madinah itu, orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya.

Dari contoh sikap kedua imam tersebut dalam menyikapi berbedaan, dapat diambil pelajaran bahwa perbedaan dalam persoalan fikih hendaknya disikapi dengan ilmu dan akhlak mulia, bukan dengan kebencian dan permusuhan yang dilarang di dalam Islam.

Dari beberapa karakter di atas seharusnya tak perlulah rekomendasi ustaz dari penguasa yang justru dapat menimbulkan perpecahan umat. Cukuplah Allah Ta’ala yang memberikan rekomendasi terhadap manusia-manusia pilihan pewaris para nabi yaitu para ulama akhirat yang menjadi dambaan dan panutan umat di akhir zaman. Wallahu’alam bishshawwab.

Ummu Naflah
Penulis Pembela Islam, Member Akademi Menulis Kreatif

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button