SUARA PEMBACA

Gempa Lombok, Wujud Cinta dari Allah bagi Hamba-Nya

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Musibah gempa menimpa lombok. Pulau yang terkenal akan keindahan pantainya ini diguncang Allah hingga meluluhlantakkan rumah dan bangunan. Gempa pertama yang terjadi pada 29 Juli 2018 dengan magnitude 6.4 SR, dan masih diikuti berbagai gempa susulan. Selama rentang waktu sebulan, 1.973 gempa susulan terjadi di Lombok hinggga menghancurkan rumah-rumah di sekitarnya. Sementara itu, dampak gempa Lombok, hingga saat ini (29/8/2018) tercatat 560 orang meninggal dunia, 1.469 orang luka-luka, dan 396.032 orang mengungsi. Kerusakan fisik meliputi 83.392 unit rumah rusak, dan 3.540 unit fasilitas umum dan fasilitas sosial rusak.

Pemerintah memang tidak menetapkan gempa Lombok sebagai bencana nasional, sehingga penanganan tetap diserahkan kepada Pemda. Sebagai ganti akan dikeluarkan Perpres tentang dukungan maksimal dari Pemerintah. Merujuk pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan pada pasal 7 ayat 2 bahwa penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah ditentukan dari sejumlah indikator, di antaranya: jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Namun sayang, tidak ada penjelasan lebih detail dalam UU tersebut apa dan seberapa parah kondisi bencana yang dimaksud dengan semua indikator penetapan bencana nasional itu.

Penetapan bencana Nasional memang berimplikasi pada siapa yang akhirnya akan bertanggung jawab pada penanggulangan dan penanganan gempa. Jika tidak ditetapkan sebagai bencana nasional maka penanganan tetap diserahkan ke pemerintah daerah. Dengan nama lain tanggung jawab utama tidak dibebankan pada pemerintah pusat.

Sangat miris. Bagaimana bisa pemerintah sebagai pelayan rakyat justru pilih-pilih dalam mengurusi rakyatnya? Yang jadi harapan rakyat adalah pemimpin mau turun ke lapangan melihat kondisi rakyatnya, meringankan beban mereka, menghibur kesedihan mereka, menanggung kerugian fisik, materi maupun trauma mereka. Bukankah untuk itu rakyat memerlukan eksistensi negara? Yang menjadi fokus pemerintah seharusnya bagaimana supaya rakyat tidak menanggung sendiri beban berat akibat bencana ini.

Saat ini ratusan ribu orang harus mengungsi, kehilangan keluarga, tempat tinggal dsb. Seharusnya Politik atau ri’ayah bencana yaitu kebijakan penanggulangan bencana yang meliputi upaya pencegahan, tanggap darurat dan pemulihan pasca bencana yang dilakukan pemerintah pusat, bukan hanya daerah.

Jika masyarakat saat ini masih menanggung beban berat berarti saat ini negara masih bermaksiat kepada rakyatnya karena belum bisa meriayah umat. Karena sebagai pemimpin harus bisa mengatur semua urusan rakyatnya. Ini terjadi karena saat ini dalam demokrasi kapitalisme pemimpin yang ada adalah pihak yang dikontrak rakyat untuk menerapkan aturan yang dibuat oleh wakil rakyat. Yang harusnya pemimpin itu adalah pelayan bagi rakyatnya. Betapa abai dan zalim kebijakan yang mereka keluarkan untuk rakyat! Betapa kejam mereka pada rakyat yang sedang dilanda bencana yang semestinya mendapat prioritas pelayanan mereka? Mengapa pula mereka memilih kesibukan lain, mulai dari Asian Games hingga persiapan pilpres, sementara rakyat Lombok menderita?

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS Al A’raf 96)

Para penguasa negeri demokratis negara kita semestinya merenungkan ayat ini. Ketika ayat-ayat Allah didustakan, keimanan ditukar dengan segelintir kenikmatan dunia, Allah SWT tak segan-segan menurunkan siksaan dan azab yang pedih pada hamba-Nya.

Bagi kaum muslim -penguasa dan rakyatnya- sudah selayaknya mereka merenung, bermuhasabah diri. Adakah bencana datang untuk menjadi peringatan, teguran, atau ujian cinta dari Allah SWT? Sudahkah mereka bersegera taat pada semua syariat-Nya tanpa memilah-milih dan berdalih? Sudahkah kaum Muslim tidak mendiamkan dan cuek dengan kemaksiatan yang ada saat ini? Guncangan dahsyat ini tak lain juga sebagai bentuk cinta Allah pada hamba-Nya, agar segera kembali mendekap erat syariat-Nya. Memberi kesempatan kedua kepada mereka untuk segera bertaubat, menjadi hamba-hamba taat. Meninggalkan demokrasi yang anti penerapan syariat Allah, lalu kembali kepada kesempurnaan Islam dalam negara yang taat utuh kepada-Nya dengan pemimpin taat pelayan umat.

Tak perlu menunggu bumi luluh-lantak karena enggan dan bahkan menolak berhukum pada syariat Allah, Wahai elit penguasa dan kaum muslimin seluruhnya! Teguran keras dan cinta Allah pada hamba-hamba-Nya agar senantiasa berpegang teguh di atas ajaran-Nya, serta bersegera meninggalkan semua maksiat dan larangan-Nya, agar selamat dari marabahaya dunia dan akhirat. Sudah semestinya setiap bencana yang terjadi menjadi peringatan bagi negara dan rakyat untuk berbenah dan berjuang agar hukum-hukum Allah tegak, kehidupan dunia sejahtera dan kita semua selamat di akhirat.

Elda Widya I. K.
Mahasiswi Fakultas Sains dan Tekhnologi Universitas Airlangga

Artikel Terkait

Back to top button