OPINI

Generasi Ambyar

Di era milenial ini muncul fenomena baru yakni Sobat Ambyar. Mereka adalah sekelompok orang baik bapak – bapak, ibu – ibu hingga kalangan remaja yang ngefans dengan lagu – lagu patah hati dari Didi Kempot. Sedangkan sebutan Sobat Ambyar diambil dari salah satu lagu Didi Kempot yang berjudul Ambyar. Oleh sobat Ambyar, Didi Kempot dipanggil dengan sebutan “Godfather of Broken Hearth”.

Walaupun lagu – lagu patah hati Didi Kempot itu berbahasa Jawa, tapi mereka bisa larut di dalamnya. Apakah karena pesan – pesan melow dan kesedihan yang seolah mewakili apa yang mereka rasakan, padahal lirik lagunya berbahasa jawa? Ini merupakan anomali jaman now yang banyak dibilang sebagai jaman 4.0 bahkan beranjak ke jaman 5.0.

Di sisi yang lain, fenomena ngehitsnya lagu – lagu baper ala Didi Kempot ini menandakan adanya something wrong di dalam diri manusia jaman now. Bahkan pada saat konsernya Didi Kempot, tidak sedikit dari komunitas Sobat Ambyar ini yang mengekspresikan kesedihannya. Sebagian ada yang menangis. Sebegitu parahkah potret orang masa kini?

Jiwa dan perasaan mereka begitu rapuh. Bisa bersedih dan menangis lantaran urusan putus cinta dan dikhianati oleh orang yang dicintainya. Tapi susahnya untuk bersedih dan menangis terhadap penderitaan yang dialami oleh saudara – saudaranya yang didholimi dan dibantai di beberapa negeri Islam.

Apakah mereka tidak sedih dan menangis terhadap anak – anak yang ditinggal mati orang tuanya karena kebiadaban zionis Israel ataupun rejim Basar Asad? Apakah mereka tidak bersedih dan menangis atas seorang ibu yang harus kehilangan anak – anaknya karena pembantaian baik di Palestina, Suriah dan negeri Islam lainnya? Kemanakah hati nurani dan perasaan mereka tatkala berita – berita tersebut menghiasi layar kaca di rumahnya maupun di layar HP nya? Mereka tidak bersedih ketika agamanya dinistakan?

Demikianlah pergeseran standar nilai yang menimpa generasi kaum muslimin. Kehidupan yang sekuleristik telah menciptakan standar nilai yang mengejar kebahagiaan jasmani dan kebendaan. Hasilnya betul – betul sebuah potret yang jauh dari nilai – nilai keimanan.

Kegagalan dalam urusan cinta dan materi telah menjadikan rasa putus asa yang mendalam dalam jiwanya. Tentunya ini merupakan satu bentuk ke- ambyaran generasi yang harus segera diobati. Lantas, bagaimana mungkin dari generasi yang ambyar bisa diharapkan lahirnya kebangkitan dan kemajuan bagi umat, bangsa dan negeri ini?

Generasi muslim di jaman keemasan Islam adalah generasi yang mengukir sejarah dengan prestasi gemilang. Adalah Sholahuddin al Ayyubi yang mampu membebaskan kaum muslimin Palestina dari penindasan pasukan salib. Thoriq bin Ziyad yang berhasil membuka Andalusia sehingga Andalusia dengan Kordobanya menjadi mercusuar ilmu pengetahuan di jamannya. Dan masih banyak pahlawan – pahlawan Islam yang lainnya.

Di bidang sains teknologi, generasi muslim mampu memberikan sumbangan besar bagi kemanusiaan. Di antaranya ada Jabir bin Hayyan dengan penemuan kimianya. Al – Khowarizmi dengan penemuan konsep matematikanya.

Di bidang ilmu keislaman, telah banyak lahir para mujtahid. Di antaranya ada Imam Syafi’ie, Imam Ahmad, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah, Imam Taqiyuddin as Subkiy dan putranya, serta yang lainnya.

Begitulah sekilas potret generasi muslim yang menjadikan standar nilai keimanan dan halal haram sebagai acuan kehidupannya. Mereka bersedih dan menangis bila mereka jauh dari tuntunan ajaran Islam.

Oleh karena itu, agar generasi zaman now tidak menjadi generasi ambyar, tentunya mereka harus mau berubah. Perubahan pertama dan mendasar adalah perubahan dalam cara berpikirnya. Cara berpikir tentang standar nilai dan kebahagiaan yang seharusnya diwujudkan dalam kehidupannya sehari – hari. Halal dan haram menjadi standar nilai dalam hidupnya. Meraih ridho Allah Swt, menjadi ukuran kebahagiaannya.

Walhasil mereka telah lahir sebagai generasi yang tertata hidupnya dengan Islam. Mereka siap bahu membahu agar kehidupan di lingkungan bangsa dan negerinya berasaskan halal dan haram. Mereka bukan lagi sebagai Generasi Ambyar.

Ainul Mizan
Penulis seorang guru, tinggal di Malang.

Back to top button