RESONANSI

Globalisasi Anies

Entah sebagai suatu kebetulan atau tidak, selama ini dalam pelbagai hal dan kesempatan selalu terjadi semacam segregasi politik antara Anies Baswedan dan Joko Widodo, kali ini di tataran mondial atau global. Yang satu dalam kapasitas jabatan Presiden RI, yang dua lainnya selaku Gubernur pemimpin DKI Jakarta sebagai Ibu kota NKRI.

Menjalani hari-hari di bulan Mei 2022, saat Jokowi mengunjungi Amerika Serikat guna keperluan Meeting Summit para pemimpin Kepala Negara Amerika Serikat dan ASEAN. Secara terpisah, Anies pun mengunjungi beberapa negara terkemuka di Eropa, di antaranya Jerman, Prancis dan London, kunjungan dan kepentingannya pun selevel dengan jabatannya, bertemu dengan para pemimpin ibukota-kota negara-negara termaju Eropa tersebut. Bertukar pikiran guna keperluan kajian studi komparasi dalam konteks suatu strategy planing pembangunan kota dan implementasinya, selain sebagai dosen tamu luar biasa di salah satu universitas terkemuka pula, tepatnya di Oxford of University London.

Tetapi, justru kunjungan dan pertemuan Jokowi ke AS tersebut banyak disoroti netizen di media sosial dan banyak para pengamat, sebagai suatu yang aneh dan membingungkan.

Aneh dan membingungkan, dikarenakan kok kunjungan Jokowi ke AS, tanpa disambut oleh pejabat-pejabat terasnya, kecuali hanya pejabat internal, duta besar Indonesia untuk AS sendirian. Ada apa gerangan?

Mungkin karena dalam konteks sejarah Kepala Negara di mata rakyat kita sudah terbiasa Kepala Negaranya selalu dibanggakan dan dihormati kalangan pejabat dunia internasional, seperti Soekarno dan Soeharto, serta beberapa Presiden lainnya, Jokowi malah tidak demikian.

Penyebabnya apakah selama ini Jokowi lebih berkiblat ke RRC, yang mana AS tengah memusuhinya, sebagai lawan di perang dagang dan ekonomi dunia? Terlebih, terkait dengan pelaksanaan pertemuan G20 di Bali, dengan sendirinya Indonesia menjadi dianggap cenderung lebih berpihak ke Rusia —termasuk masalah perang Ukraina , dikarenakan ada keberpihakan RRC di dalamnya, sehingga AS tidak menghadiri acara pertemuan G20 itu?

Jokowi seharusnya tidaklah harus berkiblat dan berpihak, sesuai komitmen pada landasan hukum UUD 1945 Indonesia menganut politik bebas aktif. Itu berarti secara diplomatik Jokowi kurang mengapresiasi komitmen diplomasi politiknya di dunia internasional, tampaknya lebih mementingkan kepentingan relasi ekonomi yang berkepihakan itu kepada RRC.

Sementara, meski Anies bertandang ke negara-negara Eropa tak ada maksud untuk keberpihakan itu. Dalam pertemuan intradomestik itu yang dibahas dan dikaji, adalah masalah dengan substansi yang memang tengah dihadapi dunia saat ini oleh kota dan negara manapun secara global, hingga menyentuh kepentingan masa mendatang.

Artinya, isu global yang menyangkut Go Green dan upaya penyediaan sumber daya energi terbarukan. Termasuk, implisitnya implementasinya bagaimana mencari solusinya bagi kota-kota megapolitan modern yang sudah pasti tengah menghadapi banyak tantangannya berkorelasi dengan problematika mobilisasi populasi, demografi dan geografinya di masa depan.

Secara lebih spesifik, boleh jadi bahkan Anies banyak memberikan referensi komparatif tentang cara pembangunan kota Jakarta yang disebutnya beranjak dari konsep berkemajuan. Di tengah-tengah banyak negara dan kota megapolitan sudah tidak menggunakan lagi teori konsep industrilized country atau country advanced, tapi lebih ke nation’s learning, sebagai negara dan atau kota pembelajar.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button