OPINI

Jalan Tengah, Ilusi Kebangkitan Kaum Muslim

Dunia kini sarat dengan konflik. Atas nama agama perseteruan itu terjadi, begitu klaim pengusung pluralisme. Padahal tidak demikian. Konflik yang terjadi di berbagai belahan bumi, lebih banyak didominasi motif politik dan ideologi. Misal, dalam skala internasional, konflik Palestina-Israel bukan sekadar konflik antaragama, melainkan motif politik yang melatarbelakanginya.

Agama selalu digadang-gadangkan menjadi pemicu konflik antarumat. Hingga pluralisme ditawarkan sebagai solusi. Jalan tengah, merangkul semua golongan. Begitu dalih mereka. Bahkan, pluralisme dipasarkan sebagai ide yang akan mewujudkan persatuan umat. Benarkah demikian?

Ide pluralisme masih menjadi primadona dan isu yang seksi untuk diangkat ke media massa. Senantiasa segar untuk diperbincangkan. Apalagi di tengah maraknya isu radikalisme, terorisme, ekstrimisme. Seolah menjadi penawar racun yang menyembuhkan. Bahkan, petinggi negara ikut latah karenanya. “Pluralisme selalu menjadi bagian dari DNA Indonesia” ungkap Jokowi dalam wawancara khusus dengan Reuters di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (3/7).

Berbagai forum digelar, dengan beragam narasi: pluralisme, jalan tengah, toleransi, dsb. Jika dikerucutkan, hakikatnya memiliki akar yang sama. Yakni mengkompromikan Islam dengan berbagai pemahaman. Salahsatunya forum World Peace Forum dengan agenda menjaga toleransi guna mewujudkan kesejahteraan dunia.

‘The Middle Path for the New World Civilization’ atau ‘Jalan Tengah untuk Peradaban Baru Dunia’, begitulah topik yang diangkat dalam World Peace Forum (WPC) ke-7 yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta Selatan, pada 14-16 Agustus 2018. Acara yang dihadiri oleh 100 tokoh dunia dari 43 negara ini menghasilkan 6 kesepakatan yang kemudian disebut sebagai ‘Pesan Jakarta’ atau ‘ The Jakarta Message’.

Pertama, komitmen untuk bekerja sama mengarusutamakan jalan tengah sebagai prinsip yang membimbingkan perwujudan peradaban dunia yang harus diimplementasikan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Kedua, komitmen mendorong negara-negara mengambil tanggung jawab dalam membentuk peraturan dan mekanisme bagi implementasi jalan tengah di negara masing-masing.
Ketiga, mendorong pemuka-pemuka agama untuk menampilkan keteladanan, mempromosikan, dan memimpin implementasi jalan tengah dalam kehidupan masing-masing umat atau masyarakat. Keempat, mendorong akademisi, sarjana, untuk melakukan penelitian yang ekstensif, baik, dan benar. Serta mendidik generasi muda tentang jalan tengah.

Kelima, para peserta sepakat mendorong masyarakat luas untuk terus mengamalkan prinsip-prinsip jalan tengah dalam kehidupan sehari-hari. Terakhir, mendorong stakeholders, pemegang saham dari perdamaian dunia ini untuk mengambil prakarsa dengan meluncurkan atau memulai gerakan global dalam pelaksanaan jalan tengah pada masyarakat atau negara masing-masing.

Konsep jalan tengah yang menjadi benang merah dalam WPF-7 ini tak lain bentuk dari moderatisasi peradaban. Juga langkah deradikalisasi dari berbagai chaos yang terjadi di berbagai negara. Jelas, yang menjadi target dari forum ini adalah pemahaman radikal yang saat ini identik dengan Islam. Islam hendak ditampilkan menjadi wajah yang moderat. Menjunjung pluralisme. Serta mengkompromikan ajegnya hukum Islam dengan berbagai kepentingan.

Narasi jalan tengah, Islam moderat, pluralisme akan senantiasa menjadi narasi yang menggiurkan untuk digulirkan. Berbagai narasi ini hakikatnya merupakan grand design Amerika guna mewujudkan tujuan politisnya, yakni mencegah bangkitnya Islam sebagai peradaban baru dunia.

Seyogianya kaum muslim tidak terkecoh atas politisasi yang tengah menyerang mereka. Tak pula teraruskan menginduk ide sesat Amerika. Konsep jalan tengah hakikatnya mengompromikan antara yang hak dan yang batil. Sementara, jelas larangan-Nya: “Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 42).

Atas nama toleransi. Atas nama pluralisme. Atas nama kompromistis. Keyakinan absolut seorang muslim tergerus. Keyakinan akan kebenaran Islam sebagai agama dan pandangan hidupnya pun terkikis. Sikap ambiguitas, permisif dalam beragama, latah dalam beragama, lemah keyakinan akan syariat, semuanya memungkinkan terjadi kala kaum muslim mengemban ide sesat tersebut. Karenanya, kembalinya kaum muslim kepada pangkuan Islam yang hakiki, di saat kondisi seperti saat ini merupakan sebuah keharusan. Tidak kompromi atas kebatilan, serta memegang teguh yang hak. Menjunjung tinggi akidah Islam serta mengejewantahkannya merupakan hal yang urgen. Apalagi dalam bernegara. Karena ia akan menjadi benteng masuknya ide-ide sesat yang diaruskan melalui forum-forum kenegaraan. Wallahu a’lam bi ash-shawab

Rismayanti Nurjannah
Pemerhati masalah sosial dan anggota Revowriter Tangsel

Artikel Terkait

Back to top button