OPINI

Jangan Hapus Pelajaran Sejarah

Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana melakukan penyederhanaan kurikulum. Dalam draf sosialiasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional tanggal 25 Agustus 2020, disebutkan salah satu bentuk penyederhanaan itu adalah rencana penghapusan mata pelajaran sejarah bagi siswa-siswi SMK, serta menjadikannya hanya sebagai mata pelajaran pilihan bagi siswa-siswi SMA.

Meskipun baru berupa wacana, munculnya rencana penghapusan mata pelajaran sejarah sangatlah tidak tepat. Sebab, pendidikan sejarah merupakan instrumen pembentukan jati diri, identitas, serta memori kolektif kita sebagai bangsa. Sehingga, rencana penghapusan itu harus dibatalkan.

Secara normatif, kebijakan ini sangat bertentangan dengan semangat dan tujuan pendidikan nasional. Dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Nilai-nilai itu sejatinya terangkum di dalam pendidikan sejarah. “Historia magistra vitae”, sejarah adalah guru kehidupan.

Saya berharap Kemendikbud berhati-hati dalam merancang penyederhanaan kurikulum ini. Di satu sisi, saya melihat kita memang perlu mendukung penyederhanaan kurikulum, agar tak terlalu membebani siswa-siswa kita, selain juga agar lebih adaptif terhadap kondisi kekinian. Namun, di subyek mana penyederhanaan itu harus dilakukan, saya kira ini harus didiskusikan secara luas dan mendalam terlebih dahulu.

Soal strategis seperti penyederhanaan kurikulum ini memang tak sepantasnya didiskusikan diam-diam dan instan. Semuanya harus dilakukan terbuka. ‘Stakeholder’ pendidikan di Indonesia sangat banyak. Kita semua berkepentingan, mau dibawa kemana pendidikan kita?

Kita kan sebelumnya tak pernah mendengar Menteri Pendidikan membentuk tim penyederhanaan kurikulum, atau menggelar diskusi publik terkait persoalan itu. Kenapa kemudian tiba-tiba bisa beredar draf penyederhanaan kurikulum semacam itu?

Saya senang Kemendikbud sudah mengklarifikasi rencana penghapusan pelajaran sejarah tidaklah benar. Saya kira Menteri Nadiem bisa belajar dari pengalaman pembentukan Komisi Pembaruan Pendidikan yang dibentuk oleh Daoed Joesoef pada masa awal jabatannya sebagai Mendikbud pada 1978.

Komisi itu bertugas, pertama, untuk menyerap semua gagasan dan bahan mengenai pendidikan nasional dari berbagai pihak di tanah air, mulai dari masyarakat, penyelenggara pendidikan, birokrat pendidikan, para intelektual, hingga para profesional. Kedua, sesudah menyerap semua itu, komisi ditugaskan untuk merumuskan apa yang seharusnya dirancang dan dilakukan oleh kementerian pendidikan terkait dengan pendidikan nasional. Dan ketiga, rumusan itu harus diuji-publikan oleh komisi dimana komisi sesudahnya harus memperbaiki rumusannya sesuai tanggapan, kritik, dan masukan yang mereka peroleh dalam berbagai uji publik tadi.

Jadi, pekerjaan-pekerjaan penting semacam itu sejak awal memang harus dilakukan secara terbuka agar perkembangannya bisa diikuti masyarakat. Sehingga, masyarakat tidak tiba-tiba disodori perubahan-perubahan drastis yang proses perumusan serta perdebatannya tak pernah mereka ikuti.

Dulu, Komisi Pembaruan Pendidikan diisi tokoh-tokoh terkemuka lintas bidang, seperti Sumitro Djojohadikusumo, Koentjaraningrat, Andi Hakim Nasution, T.O. Ihromi, Slamet Iman Santoso, dan Ki Suratman. Rekomendasi-rekomendasi mereka tak disikapi secara apriori oleh publik.

Dalam berinovasi, Menteri Pendidikan perlu mengingat satu hal, bahwa pendidikan yang diselenggarakan oleh kementeriannya adalah sebuah “Pendidikan Nasional”. Pengajaran sejarah menjadi bagian dari “kenasionalan” itu. Jika pengajaran sejarah dihapus, atau dipinggirkan, bagaimana kenasionalan Indonesia para peserta didik akan dibentuk?

Memang, setidaknya ada dua peran strategis pendidikan sejarah. Pertama, sebagai instrumen “transmission of culture”. Pendidikan sejarah membentuk siswa untuk memiliki penghargaan yang tinggi terhadap ‘the glorious past’ bangsa kita. Membawa siswa untuk mampu menghargai karya bangsa di masa lampau, sekaligus memupuk rasa bangga sebagai bangsa.

Kedua, pendidikan sejarah mengajarkan esensialisme. Sebagai sebuah disipilin ilmu, sejarah tak hanya sebatas pendidikan pengetahuan sejarah, namun juga sebagai instrumen pengembangan kemampuan berpikir kronologis, analitis, dan kritis. Dengan kata lain, pengetahuan sejarah akan membantu siswa memecahkan permasalahan kekinian.

Selain itu, saya mau mengingatkan Mendikbud, sejarah bukan sekedar nama, tahun dan peristiwa masa lalu. Tapi sebuah “journey” atau perjalanan sebuah bangsa. Mereka yang tak memahami masa lalu, tak kan pernah mengerti masa kini. Mereka yang tak paham masa kini, tak kan bisa merancang masa depan.

Jadi, saya berharap Kemendikbud tak gegabah dalam merancang penyederhanaan kurikulum.

Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Anggota DPR RI, Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia

Artikel Terkait

Back to top button