SUARA PEMBACA

Kapitalisasi Biaya Haji, Derita Rakyat Tiada Henti

Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam. Hukumnya adalah fardhu ‘ain, wajib bagi yang mampu. Pelaksanaannya amat dinantikan oleh setiap kaum muslimin. Maka, tak sedikit dari mereka yang berjuang sedemikian rupa demi bisa melaksanakan kewajiban tersebut, mulai dari menabung puluhan tahun, hingga sabar menunggu antrean keberangkatan yang tak sebentar.

Apa daya, biaya haji selalu dikabarkan melonjak naik. Dan terbaru, Biaya haji diusulkan dengan kenaikan fantastis. Sebagaimana dikabarkan Viva.co.id (22/01-2023) bahwa dalam raker bersama Komisi VIII kemarin, Kementrian Agama mengusulkan agar biaya naik haji dinaikkan, demi menyesuaikan proporsi BIPIH dan Nilai Manfaat (NM), yakni 70% dan 30%. Hal tersebut dalam rangka menjaga untuk menjaga agar nilai manfaat yang menjadi hak seluruh jemaah haji Indonesia, termasuk yang masih mengantre keberangkatan, tidak tergerus habis.

Sebagaimana ramai diperbicangkan bahwa Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang diusulkan Kemenag adalah sebesar Rp69.193.733,60. Jumlah ini adalah 70% dari usulan rata-rata biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11. (Beritasatu.com/27-01-2023)

Dirjen Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah Kemenag, Hilman Latief, bahwa Hilman menuturkan Bipih merupakan biaya yang harus dibayarkan oleh jemaah. Sedangkan BPIH adalah keseluruhan dari bodi anggaran biaya penyelenggaraan haji. Adapun Bipih dan BPIH telah diatur di dalam Pasal 45 UU No 8 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Dari besaran Bipih yang diusulkan Kemenag, sebesar 30 persen atau Rp29,7 juta sisanya dibayarkan dari nilai manfaat pengelolaan dana haji.

Di sisi lain, Pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan penurunan biaya haji sebesar 30%, baik untuk jemaah domestik maupun luar ini. Ini sungguh ironi!

Memberatkan Rakyat

Tentu saja usulan kenaikan biaya haji ini memberatkan rakyat di tengah perekonomian yang masih memperbaiki diri usai diterjang pandemi. Apalagi bagi kaum menengah ke bawah, tentu butuh perjuangan untuk dapat mengumpulkan dana bagi perjalanan haji. Bagaimana yang sudah antre bertahun-tahun sedangkan kekurangan dananya cukup besar, jika nanti rencana Kemenag jadi direalisasikan? Tentu saja hal ini sangat memberatkan rakyat.

Wajar jika banyak pihak yang menyayangkan adanya usulan tersebut dan meminta Menag mengkaji ulang. Sebagaimana dilansir oleh Tempo.co (22-01-2023) bahwa Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Marwan Dasopang, menilai rencana Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menaikkan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) 2023 terlalu mendadak dan merugikan calon jemaah yang berangkat tahun ini.

Fakta mahalnya biaya haji ini kian menegaskan bahwa di sistem kehidupan sekuler kapitalistik, ibadah pun dikapitalisasi alias dijadikan komoditas bisnis. Sungguh memprihatinkan. Umat Islam seperti digencet dari segala kini hidupnya.

Haji dalam Khilafah

Pelaksanaan ibadah haji dalam naungan sistem Islam, yakni Khilafah, sebagaimana pernah terjadi di masa lalu, tidaklah memunculkan karut-marut seperti hari ini. Khilafah akan membangun departemen khusus untuk menangani pelaksanaan haji dan umrah. Nantinya, setiap wilayah ada penanggungjawab untuk mengurus administrasi, manasik haji, dan keberangkatan jemaah.

Khilafah juga tidak akan membebani warga negaranya dengan biaya mahal untuk pelaksanaan ibadah haji, karena pengurusan pelaksanaan ibadah haji merupakan tugas negara. Jadi, negara tidak berorientasi materi dalam hal ini. Dalam Khilafah tidak ada biaya visa karena berada dalam satu kesatuan wilayah Khilafah. Jadi, hanya cukup menunjukkan paspor dan tanda pengenal saja. Selain itu, dalam Islam dana haji tidak boleh dimanfaatkan oleh negara untuk investasi atau membangun infrastruktur. Karena, pembangunan infrastruktur mengambil dana dari Baitulmal, bukan dana haji.

Keseriusan negara dalam pelayanan terhadap rakyatnya dalam hal memudahkan pelaksanaan ibadah haji terlihat pada masa kekhilafahan Abbasiyah. Pada saat itu, Khalifah Harun Ar-Rasyid membangun jalur transportasi haji dari Irak hingga Hijaz. Di setiap titik, dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik dan dana zakat bagi jemaah yang kehabisan bekal. Begitu juga pada masa Kekhilafahan Ustmaniyah, Khalifah Abdul Hamid II membangun sarana transportasi massal dari Istambul, Damaskus, hingga Madinah.

Demikianlah pengurusan negara Khilafah terhadap rakyatnya yang sungguh mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Betapa tidak, Khilafah tegak di atas landasan sistem Islam yang agung dan bersumber dari Allah Swt, maka sudah tentu akan mampu merealisasikan kebaikan dan kemuliaan bagi manusia. Sangat bertolak belakang ketika negara mengadopsi sistem yang jauh dari aturan agama, maka kesempitan dan penderitaan lah yang pasti akan terasa.

Allah Swt berfirman: “Siapa saja yang berpaling dari peringatanKu, maka sungguh baginya kehidupan yang sempit, dan Kami menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thoha ayat 124).

Hana Annisa Afriliani, S.S., Aktivis Dakwah dan Penulis Buku

Artikel Terkait

Back to top button