SIRAH NABAWIYAH

Kaum Munafik Lari dari Medan Perang

Khianat adalah pembawaan sikap kaum munafik. Pada saat Perang Uhud, sikap ini dipertontonkan oleh sekitar 300 orang pengikut Abdullah bin Ubay bin Salul.

Jelang Perang Uhud, kaum Muslimin dipimpin Rasulullah Saw menggelar musyawarah untuk memutuskan apakah tentara kaum musyrik Qurays dihadapi di dalam kota Madinah atau di luar kota. Rasulullah berpendapat akan menghadapi tentara Qurays di dalam kota, sementara sejumlah sahabat muda menghendaki agar tentara musyrik itu dihadapi di luar kota. Orang-orang munafik, terutama pimpinan mereka Ubay bin Salul, mengikuti pendapat Rasulullah. Tetapi bagi Ubay, ini bukanlah bagian dari strategi perang melainkan supaya tidak kelihatan bila menyelinap meninggalkan perang.

Mayoritas sahabat, terutama alumni Perang Badar, berpendapat supaya tentara kaum Muslimin menghadapi perang di luar kota. Rasulullah akhirnya mengikuti pendapat mayoritas sahabat, kaum muslimin menghadapi tentara Qurays di luar kota.

Sikap kaum munafik yang khianat terbukti ketika pasukan kaum muslimin sampai di Asy-Syawat. Ubay bin Salul menarik diri bersama tiga ratus orang munafik dengan alasan tidak mungkin perang melawan orang-orang musyrik dan menolak keputusan Rasulullah untuk perang di luar kota Madinah. Ia mengatakan, “Mengapa Rasulullah lebih patuh kepada keputusan anak-anak dan orang-orang yang tidak memiliki pendapat. Mematuhi mereka berarti tidak mematuhi saya. Untuk apa kita memerangi diri kita sendiri?.”

Tujuan inti dari penolakan ini sebenarnya adalah agar terjadi goncangan dalam pasukan kaum muslimin sehingga kekuatan spiritual pasukan kaum muslimin menjadi runtuh dan musuh semakin berani dan menang. Perbuatan Ubay bin Salul ini merupakan bentuk pengkhianatan besar, wujud kebencian terhadap Islam dan kaum muslimin.

Dari peristiwa ini terlihatlah hikmah, dimana Allah ingin membersihkan pasukan kaum muslimin, agar terlihat mana yang kotor dan mana yang baik dari mereka. Supaya pasukan yang tulus ikhlas tidak bercampur aduk dengan pasukan yang mempunyai tujuan tersembunyi. Agar yang beriman terpisah dari yang munafik.

Allah berfirman, “Allah sekali-kali tidak akan tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu yang sekarang ini, sehingga dia menyaksikan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlibatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib.” (Ali Imran : 179).

Rasa takut dan gentar itulah yang menyingkap sikap orang-orang munafik jati diri mereka tersingkap di hadapan diri mereka sendiri dan seluruh manusia, sebelum Alquran mengungkapkannya.

Menghadapi sikap kaum munafik ini, salah seorang sahabat Abdullah bin Amr bin Haram, berusaha menyakinkan orang-orang munafik agar kembali kembali kepasukan kaum muslimin. Abdullah bin Amr berkata, “Wahai kaum, aku ingatkan kamu kepada Allah, janganlah kamu membiarkan kaummu dan Nabimu ketika musuh mereka tiba.” Mendengar perkataan ini, orang-orang munafik menjawab, “Jika kami tahu bahwa kamu akan berperang, pastilah kami tidak akan ada peperangan (ungkapan ini dimaksudkan untuk sinisme).”

Ketika orang-orang munafik itu tidak menuruti ajakannya dan mereka terus berpaling, maka Abdullah bin Amr bin Haram berkata, “Semoga Allah menjauhkan kamu wahai musuh-musuh Allah. Allah akan mencukupkan Nabinya dari kamu.”

Ayat ini turun tentang mereka yang tidak mau menolong Rasul-Nya, “Dan apa yang menimpa kamu pada hari bertemunya dua pasukan, maka (kekalahan) itu adalah dengan izin (takdir) Allah, dan agar Allah mengetahui siapa orang-orang yang beriman. Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan, “Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu).” Mereka berkata, “Sekiranya Kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah Kami mengikuti kamu.” Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.” (QS. Ali Imran: 166-167).

Pengkhianatan Ubay bin Salul ini dibiarkan oleh Rasulullah. Beliau tidak memperdulikan mereka. Sikap Ibnu Salul ini justru membuka kedok siapa sejatinya dirinya. Ubay bin Salul pun akhirnya terkucil dari pergaulan kaum Muslimin di Madinah.

(Shodiq Ramadhan)

Artikel Terkait

Back to top button