RESONANSI

Kegamangan Politik Eks Partai Oligarki

Berpecah dan atau bergabung dari KIB, dengan KKIR, sekaligus PDIP yang disebut sebagai Koalisi Besar, takkan mengubah dan berpengaruh apa-apa baik terhadap elektabilitas maupun elektoralnya yang memang sudah diprediksi bakal ambles alias gembos perolehan suaranya kelak di Pemilu/Pilpres 2024. Kecuali, sekarang resultantenya hanya memperjelas arah semakin menunjukkan kegamangan politik mereka sendiri.

Kegamangan politik dalam kebergabungan mereka dikarenakan mereka tengah menanggung dosa besar politik yang telah mengantarkan pemerintahan Jokowi menjelma menjadi otoritarianisme otoriter.

Sebaliknya, justru dengan peran mereka menjelmakan itu telah mendapatkan imbalan bagi para elite politisnya berlimpah materialisme: kubangan karakter feodalistik dan perilaku hedonis yang telah menjahit mulut mereka menjadi terbungkam menyuarakan morality right and justice.

Kecuali, tangan-tangan jahat berjamaah mereka melakukan perampokan negara, melalui korupsi yang tengah semakin merambah di setiap lini struktural pemerintahan maupun privatisasi, bahkan sudah menjadi perilaku, sifat dan sikap kultural bangsa yang seharusnya beradab dan bermartabat sesuai nilai-nilai filosofinya yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945.

Itulah yang menyebabkan kenapa mereka berkonspirasi membentuk partai oligarki di parlemen. Hingga, mematikan demokrasi sebagai mandat daulat rakyat —sepanjang nyaris satu dekade pemerintahan Jokowi, salah satu indikasinya tak pernah sekalipun hak-hak DPR itu dipergunakan ketika ada suatu kasus.

Terbukti, kasus sekaliber money laundring 394 T di Kemenkeu dan atau ulah mafia Satgasus Polri Ferdy Sambo pun dibiarkan berlalu, tanpa pansus dan atau panja untuk menggelar hak mempertanyakan, karena ini kasus korupsi dan pencucian uang, dilanjutkan hak usul dan menyatakan pendapat yang mengharuskan untuk memakzulkan Presiden, sebagai bentuk pertanggungjawaban Kepala Negara jika terbukti itu salah.

Yang ada hanya atraksi hearing drama politik kepalsuan antara Menkopolhukam dengan anggota Komisi III Arteria Dahlan sebagai tontonan “gratisan di industri media” sosial dan TV yang dengan begitu cepatnya dalam hitungan menit menghilang, tanpa tindak lanjut apa-apa.

Apalagi kegamangan politik dalam keberpecahan, kini mereka masing-masing KKIR, KIB dan PDIP tengah menggali lubang untuk kuburannya sendiri.

Kiasan narasi lain untuk keniscayaan mau menerima konsekuensi kekalahan nanti yang memang bagi mereka sangat sulit dipahami dan disadarinya. Dikarenakan masih begitu sangat besar nafsu ambisi kekuasaan, tidak saja telah membutakan mata, bahkan juga membutakan hati.

Jokowi yang sesuai perintah konstitusi memang harus berakhir bukannya bersikap independen bagian dari legacy kenegarawanannya, malah seperti seorang influencer yang mancla mencle dari melakukan propaganda terselubung memperpanjang jabatan tiga periode hingga menggalang calon turunan bonekanya di fora koalisi eks partai oligarki yang pernah mendukungnya itu.

Sehingga, KKIR dan KIB sampai dipingpong dengan “bola mahkota” Ganjar Pranowo yang pada akhirnya kemudian tetap berlabuh ke tempat asalnya ke kandang banteng moncong putih direstui yang paling saestu sebagai bacapres PDIP yang dideklarasikannya sehari sebelum lebaran dua hari lalu.

Padahal, itu sekadar permainan waktu yang sesungguhnya wujud perintah garis komando sebagai petugas partai yang wajib dan harus manut kepada biangnya, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri yang dahulu dianggap sang “Ratu Marhaenis” sekarang sudah disebut sebagai sang “Ratu Hedonis”:

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button