AKHLAK

Kerusakan Terjadi karena Ambisi Jabatan dan Kekuasaan

Jabatan kepemimpinan dan kekuasaan menjadi ajang rebutan banyak orang. Baik secara halal maupun dengan cara yang haram. Ia menjadi sesuatu yang cukup menggiurkan. Dengan menjadi seorang penguasa, siapapun akan mudah memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia.

Tidak mengheranan bila kemudian untuk mewujudkan ambisi tersebut, banyak cara cara haram dilakukan, bahkan nyawapun bisa dijadikan tumbal demi memuaskan nafsu kekuasaannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengingatkan manusia agar tidak tamak, tidak bercita-cita dan tidak berambisi kepada jabatan dan kekuasaan, karena kalau itu diberikan kepada orang yang tidak berhak menerimanya, atau kepada orang yang tidak mampu atau tidak jujur dan amanah, maka pasti akan terjadi kerusakan di muka bumi dan pemutusan silaturrahim.

Allah Ta’ala, berfirman:

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِى الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوٓا أَرْحَامَكُمْ

“Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad 47: Ayat 22)

أُولٰٓئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمٰىٓ أَبْصٰرَهُمْ

“Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya.” (QS. Muhammad 47: Ayat 23)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mau dijadikan sebagai raja. Dalam sebuah hadits, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Jibril duduk menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian melihat ke arah langit, ternyata ada seorang Malaikat yang turun. Jibril Alaihissallam berkata, “Sesungguhnya Malaikat ini belum pernah turun (sebelum ini) sejak ia diciptakan. Ketika Malaikat tersebut turun, ia berkata,

يَا مُحَمَّدُ ، أَرْسَلَنِيْ إِلَيْكَ رَبُّكَ : أَفَمَلِكًا نَبِيًّا يَجْعَلُكَ ، أَوْ عَبْدًا رَسُوْلًا ؟

Wahai Muhammad! Rabbmu telah mengutusku kepadamu (untuk memberimu pilihan), apakah engkau ingin Allah menjadikanmu sebagai seorang raja sekaligus nabi? Atau seorang hamba sekaligus rasul?”

Lalu Jibril berkata, “Tawadhu’lah (merendahlah) kepada Rabbmu, wahai Muhammad!” Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

بَلْ عَبْدًا رَسُوْلاً

Bahkan aku ingin menjadi hamba sekaligus rasul. (HR. Ahmad, II/231 dan Ibnu Hibban (no. 2137-Mawâriduz Zham`aan).

Namun fitnah seperti ini memang sudah menjadi bagian dari nubuwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal beliau, bahwa akan ada kondisi dimana kepemimpinan menjadi ajang rebutan banyak orang. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَصِيرُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya kalian akan berambisi akan jabatan kepempimpinan. Padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (HR. Bukhari)

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati terutama bagi yang tidak mampu agar tidak meminta-minta diangkat menjadi pejabat. “Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepadamu karena diminta, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepadamu bukan karena diminta, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya,” (HR. Bukhari-Muslim)

Menjelaskan hadits tersebut, Ibnu Hajar berkata, “Siapa yang mencari kekuasaan dengan begitu tamaknya, maka ia tidak ditolong oleh Allah.” (Fathul Bari, 13: 124)

Seharusnya, kekuasaan didapat dan dimanfaatkan dengan cara yang benar dan amanah sesuai perintah Allah Ta’ala dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika itu dilakukan, maka keberkahan dan kesejahteraan Insya Allah akan didapatkan.

Wallahu a’lam

Abu Miqdam
Komunitas Akhlaq Mulia

Artikel Terkait

Back to top button