SUARA PEMBACA

Ketidakjelasan Keadilan Hukum dalam Sistem Kapitalisme

Bicara keadilan tentunya kita bicara adil dalam dua sisi. Dengan kata lain, bukan hanya adil dari sisi pelaku tapi juga dari sisi korban. Maka dari itu sumber hukum yang digunakan haruslah sumber hukum yang terjamin dan terpercaya bisa menciptakan keadilan itu sendiri.

Baru-baru ini polemik terkait hukuman mati di negeri ini menjadi isu hangat. Bahkan menimbulkan pro dan kontra di antara tokoh dan berbagai kalangan. Salah satunya dari Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid yang mengkritisi pernyataan Ketua Komnas HAM yang tidak setuju pemberlakuan hukuman mati terhadap Herry Wirawan, terdakwa kasus rudapaksa terhadap 13 santriwati.

Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritik Komnas HAM dan pihak lain yang ngotot agar RUU TPKS segera disahkan untuk melindungi korban kekerasan seksual, tapi menolak tuntutan dan vonis hukuman mati terhadap pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak-anak. (tribunnews.com, 15/01/2022)

Pro dan kontra terkait hukum di negeri yang notabenenya menganut sistem sekularisme-kapitalisme ini memang sering terjadi. Standar keadilan menjadi sebuah hal yang ‘abu-abu”. Sekularisme-kapitalisme yang mengagungkan akal manusia yang pada dasarnya terbatas, dan mencoba mengenyampingkan aturan Tuhan tentunya tidak akan mampu menyelesaikan segala permasalahan manusia. Bahkan sistem ini semakin memperbanyak pelaku kejahatan sekaligus korban kejahatan, termasuk kekerasan seksual pada anak di bawah umur.

Selain itu, sistem ini juga menumbuhsuburkan kebodohan di tengah-tengah masyarakat. Tak hanya itu, sistem ini menempatkan penguasa dan negara sebagai pihak yang lemah dari tanggung jawab mengayomi rakyat kecil. Dan ini berpotensial besar merusak jiwa manusia, karena meliberalkan manusia sehingga menjadi liar dan tidak terkendali.

Dengan demikian, akar permasalahannya adalah kerusakan sistem Kapitalisme yang berlaku saat ini, sehingga harus ada upaya untuk mengubahnya secara total dan mendasar.

Setiap sistem yang bersumber dari selain Allah SWT, berpeluang masuknya kebatilan. Dalam soal perumusan hukum, baik demokrasi kapitalis ataupun sosialis, akan tetap rusak dan merusak manusia. Karena pada sistem ini dibangun di atas asas liberal yang memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan aturan hidupnya sendiri.

Tentunya, sebagai bangsa yang penduduknya mayoritas Muslim mengembalikan seluruh persolan kepada syariah Islam (Lihat: QS Yusuf [12]:40; al-Maidah [5]:50)

Terkait kewajiban terhadap hak-hak anak, Islam mempunyai aturan yang kompleks dalam penjaminannya antara lain; hak hidup, hak mendapat nama yang baik, hak penyusuan, hak pengasuhan, hak mendapatkan kasih sayang, hak mendapat perlindungan dan nafkah dari keluarga, dan hak mendapati kebutuhan pokok sebagai warga negara.

Penyelesaian berbagai persoalan anak meliputi penyelesaian problem ekonomi, pendidikan, sosial, hukum yang memerlukan penataan politik yang menyeluruh. Dengan pengaturan yang komplek, maka pelaku kekerasan seksual pada anak tidak akan merajalela mengintai anak-anak untuk menjadi mangsanya. Di sisi lain Islam juga mempunyai aturan yang tegas terhadap pelaku kejahatan seksual seperti ini.

Sistem Islam akan bertanggungjawab dalam segala aspek persoalan yang terjadi di masyarakat. Konsep kepemimpinan yang bertanggungjawab adalah bentuk konsekuensi dari keimanan kepada Allah SWT. Kepemimpinan dan tanggungjawabnya tidak mungkin dilakukan secara main-main ataupun parsial, karena segala sesuatunya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, Yang Maha Agung, Maha Kuasa dan Maha Mengawasi. Wallahu a’lam.

Diana Nofalia, Aktivis Muslimah.

Artikel Terkait

Back to top button