RESONANSI

Ketika Islam Menguat di Tanah Jawa: Sebuah Catatan Perjalanan

Selama sepekan (13-19/08/2022) saya menemani Rihlah Ilmiyyah Santri At-Taqwa Depok. Dari Semarang, Demak, Jombang, Solo, Yogyakarta hingga Cirebon. Destinasinya adalah tempat-tempat bersejarah seperti museum, makam wali atau rumah budaya.

Hal yang membuat rihlah ini berkesan adalah pemaparan para pakar sejarah. Di antaranya al-Ustadz Ahda Abid, seorang muslim tradisionalis pengajar sejarah di pondok kami, juga Al-Ustadz Arif Wibowo, penulis aktif tema sejarah dan Kristenisasi Jawa. Sebab “menyaksikan” tidak seperti “merasakan”. Rangkaian destinasi mungkin mampu memuaskan mata.

Namun pemaparan merekalah yang memuaskan  akal serta menyegarkan hati. Selain itu, lewat tangan yang ahli dan adil, sejarah bukan sebatas tumpukan informasi.

Ia  menjadi sebuah konsep dan “cara pandang” bagaimana melihat masa lalu. Dan inilah asas terbentuknya sebuah peradaban, yaitu bagaimana seseorang bangga (to be pride) melihat masa lalunya. Tidak malu, tidak  takut.

Sebagaimana slogan Muhammad Asad, “No Civilization can prosper or even exist after having lost this pride and the connection with its own past”.

Ibarat butiran mutiara yang bertebaran, saya hendak mengumpulkan rangkaian perjalanan ini dalam satu simpul kuat, yaitu “Ketika Islam Menguat di Tanah Jawa”.

Jawa sebelum Islam

Saat di Masjid Insan Mulia Solo (17/10), Arif Wibowo, yang biasa kami sapa dengan Ustadz Arif melontarkan pertanyaan, “Mengapa bangsa Indonesia yang sangat jauh dari Arab dan tidak tersentuh secara besar-besaran oleh imperium Islam, mau untuk memeluk Islam, bahkan menjadi agama mayoritas masyarakat?”

Susasana pun hening. Seketika Ustadz Arif kembali melontarkan pertanyaan sebagai sebuah pengantar, “Apa agama yang dianut oleh orang Jawa sebelum Islam datang?”

Sebagian kami menjawab Hindu-Budha, sebagian lain menjawab Animisme. “Inilah yang sering disalahpahami di berbagai pengajaran sejarah,”ujar Ustaz Arif.

Mereka selalu mengaitkan kuatnya pengaruh Hindu-Budha dengan keberadaan Borobudur dan Prambanan. Ini tidaklah tepat. Sebab saat itu Hindu-Budha tidaklah dianut oleh masyarakat kecuali kalangan elite Keraton.

1 2 3 4 5Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button