EDITORIAL

Koalisi atau Oposisi?

Dalam perspektif Islam, tugas utama partai politik adalah mengoreksi penguasa dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Pendukung Prabowo-Sandi terbelah. Akibat manuver politik yang dilakukan Prabowo Subianto. Dalam suasana kebatinan yang mengharu biru dan belum move on-nya para pendukung setelah dikalahkan di Mahkamah Konstitusi, Prabowo malah bertemu Jokowi di Stasiun MRT Lebakbulus, Jakarta Selatan. Berturut-turut Prabowo kemudian bertemu dengan Megawati di rumahnya di Jl Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.

Prabowo kemudian menghadiri Kongres PDIP di Bali atas undangan langsung Megawati. Terkesan di-bully dengan candaan-candaan, namun Prabowo mendapatkan tempat dan perlakuan yang istimewa pada pembukaan Kongres. Mega terus menyebut nama Prabowo dengan sapaan ‘pak, mas, situ’ yang menunjukkan betapa akrabnya mereka. Sementara beberapa pimpinan partai koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf malah tempat duduknya dijauhkan. Beberapa nampak menekuk muka, duduk tak semangat, saat pembukaan.

Jika Anda adalah pendukung Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019 dan baru mengenalnya, sewajarnya kecewa dengan manuver itu. Sebab maksud sebagian besar pendukungnya, terutama emak-emak militan, mereka ingin Prabowo mengambil posisi ‘lawan’. Tak terima atas segala pencurangan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yang dialami. Sama seperti sikap Mega kepada SBY pada periode 2004-2014. Tapi, itu hil yang mustahal. Buang jauh-jauh mimpi itu.

Prabowo bukanlah Mega. Prabowo tipologi jenderal dan pemimpin yang ‘nggak baperan’. Persatuan dan kesatuan bangsa di atas segalanya. Dia negarawan. Keunggulan Prabowo itu sekaligus ‘kelemahannya’. Nampaknya itulah sifat dan karakter Prabowo yang dikenal betul oleh lawan-lawannya. Sehingga mereka menggunakan strategi ‘total war’ untuk mengalahkan mantan Pangkostrad itu. Kalaupun kalah, Prabowo tidak akan neko-neko bersama pendukungnya, pikir mereka.

Walaupun manuver Prabowo telah mengakibatkan sikap pendukungnya terbelah, nyatanya hingga kini Gerindra belum memutuskan, koalisi atau oposisi. Di antara partai pengusung pasangan 02, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang langsung mengambil sikap tegas. #KamiOposisi.

Walaupun sikap resmi partai akan dikeluarkan sesuai rapat Majelis Syuro, namun pernyataan petinggi-petinggi PKS sudah mengarah akan oposisi. Tercatat Wakil Ketua Majelis Syuro Hidayat Nur Wahid, Ketua Fraksi PKS di DPR Jazuli Juwaini, Wakil Ketua Fraksi Aboe Bakar Al Habsyi, Humas PKS Ledia Hanifa dan Ketua DPP Mardani Ali Sera, terang-terangan memilih oposisi. Mardani dalam beberapa kesempatan maah mengajak partai-partai pengusung 02 untuk oposisi.

Partai Amanat Nasional (PAN) nampaknya gamang. Ketua Dewan Kehormatan PAN HM Amien Rais menyarankan agar partainya oposisi. Sikap itu juga disuarakan Wakil Ketua Wanhor Dradjad Wibowo. PAN Yogya juga mendukung sikap Amien. Namun, ketua umum mereka, Zulkifli Hasan mengatakan partainya mendukung Jokowi tanpa syarat.

Kepentingan Pileg dan Pilpres 2024 adalah salah satu yang menjadi pertimbangan untuk menentukan koalisi atau oposisi. Pilpres 2024 tidak akan ada lagi calon petahana. Semua punya kesempatan. Karena itu bagi yang berpikir dengan bergabung ke pemerintahan dapat menghasilkan pundi-pundi untuk partai sebagai bekal Pemilu 2024, maka kesempatan satu periode ini tak boleh dilewatkan. Sayang, pikir mereka.

Bagi PKS, sikap di luar pemerintahan pada periode 2014-2019 telah membawa keberkahan pada partai itu. Di DPR RI perolehan kursi PKS naik dari 40 menjadi 50 kursi, DPRD Provinsi naik dari 161 menjadi 198 kursi, DPRD Kota/Kabupaten naik dari 1078 menjadi 1241 kursi. Pencapaian ini merupakan tertinggi sejak partai ini mengikuti Pemilu pada 1999.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button