SUARA PEMBACA

Koalisi, Oposisi dan Muhasabah kepada Penguasa

Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disebut terkait rencana masuknya kader dua partai itu dalam kabinet mendatang. Parpol koalisi pendukung Jokowi menyerahkan persoalan itu kepada Presiden seraya menekankan perlunya oposisi untuk check and balances. (Republika, Senin 14/10/2019).

Seperti diketahui bahwa dalam sistem politik demokrasi ada partai koalisi yang akan selalu sejalan dan mendukung pemerintah. Juga ada partai oposisi yang akan memberikan pengawasan dan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Namun dengan wacana bergabungnya partai oposisi ke dalam koalisi, dikhawatirkan pemerintahan tidak akan dapat berjalan seimbang karena tidak ada oposan yang mengkritik kebijakan pemerintah.

Hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan partai oposisi sangatlah penting dalam sistem politik demokrasi sebagai pihak pemberi kontrol dan kritik. Padahal seharusnya, atas nama kepentingan rakyat dan negara, maka baik koalisi maupun oposisi harus memberikan kontrol terhadap pemerintah. Tidak asal mengikuti maupun menolak kebijakan pemerintah. Namun dilihat apakah kebijakan tersebut memihak rakyat atau tidak.

Jelas berbeda dengan Islam, karena dalam Islam tidak mengenal partai koalisi maupun oposisi. Karena salah satu syarat seorang Khalifah adalah merdeka. Maka seorang Khalifah tidak boleh berada dibawah komando partai atau siapapun. Namun hanya tunduk pada perintah Allah dengan berhukum pada Alquran dan Alhadist. Karena seorang pemimpin terpilih (Khalifah) beserta jajaran struktur nya terbebas dari partai, meskipun dia berasal dari anggota partai. Mereka (Khalifah dan struktur nya ) akan otomatis keluar dari partai ketika telah menjabat sebagai pejabat negara. Sehingga para pejabat negara bukanlah petugas partai.

Keberadaan partai dalam Islam sesuai dengan perintah Allah: “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Segolongan orang tersebut adalah orang-orang yang bersama dalam jamaah/ Harakah/ ormas/ partai yang fungsinya untuk amar makruf nahi mungkar terutama pada penguasa. Dengan demikian, jalannya pemerintahan tetap dalam pengawasan partai dan perwakilan umat yang tergabung dalam majelis umat. Karena para pejabat bukan lagi petugas partai, maka partai yang ada akan memberikan pengawasan dan kontrol pada pemerintah atas dasar iman yakni amar makruf nahi mungkar. Bukan atas dasar kepentingan partai apalagi atas dasar bagi-bagi kekuasaan. Sehingga dalam mekanisme pemberian kritik pada penguasa bukanlah dengan tujuan untuk menjatuhkan seorang pemimpin, namun semata-mata murni demi menyampaikan kebenaran.

Hal tersebut sesuai dengan hadis Rasulullah: “Sebaik-baik jihad ialah berkata yang benar di hadapan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dengan demikian, seluruh kaum muslimin berkewajiban mengontrol / mengoreksi tugas-tugas dan kebijakan-kebijakan para pejabat pemerintahan (muhasabah ilal hukkam). Hal ini dilakukan untuk muhasabah dan mengubah perilaku penguasa jika mereka melanggar hak-hak rakyat, melalaikan kewajibannya terhadap rakyat, mengabaikan salah satu urusan rakyat, menyalahi hukum-hukum Islam, atau memutuskan hukum dengan selain yang Allah turunkan.

Namun hal ini tidak akan terjadi selama asas dari kehidupan dan pemerintahan adalah asas manfaat dan kepentingan sekelompok orang/partai seperti dalam sistem demokrasi saat ini. Tapi baru akan terlaksana jika asas dalam kehidupan adalah demi mencapai Rida AllahSWT. Dan ridha Allah hanyalah pada Islam. Maka wajib menerapkan Islam dan meninggalkan aturan yang lain.

Allah SWT berfirman: “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36).

Nusaibah Al Khanza
(Pemerhati Masalah Sosial dan Politik)

Artikel Terkait

Back to top button