OPINI

Komisi Yudisial Harus Periksa Majelis Hakim PN Jakpus

Gugatan Partai Prima dikabulkan oleh PN Jakarta Pusat. KPU dinyatakan keliru dalam melakukan verifikasi administrasi terhadap Partai Prima.

Yang menjadi janggal dan patut dicurigai adalah Majelis Hakim dalam amar putusannya menyatakan “melaksanakan tahapan Pemilu dari awal lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari” artinya Pemilu ditunda hingga Juli 2025. Putusan tersebut dinilai melampaui batas kewenangan.

Lima kekacauan dari Putusan perkara No 757/Pdt.G/2022/PN Jkt Pst tersebut adalah:

Pertama, Putusan ini bertentangan dengan Konstitusi Negara. UUD 1945 Pasal 22 E ayat (1) menegaskan bahwa Pemilu itu dilakukan lima tahun sekali. Dengan menunda hingga Juli 2025 maka Majelis telah menetapkan Pemilu itu lebih dari lima tahun.

Kedua, sangat gegabah Pengadilan Negeri memutus perkara Pemilu yang sebenarnya masuk ruang Hukum Tata Negara. Gugatan perdata tidak bisa melabrak hukum publik cq Hukum Tata Negara. Kompetensi ada pada Bawaslu atau Peradilan Tata Usaha Negara.

Ketiga, menghentikan proses Pemilu dengan Putusan “serta merta” patut diduga ada motif dibelakangnya. Tidak ada kepentingan dan alasan adanya putusan serta merta (uitvoorbaar bij vooraad). Justru hal ini sangat berbahaya karena dapat menciptakan ketidakpastian hukum.

Keempat, perkara ini adalah perkara perdata yang konsekuensi hukum dari putusan hanya mengikat kepada para pihak KPU dan Partai Prima. Tidak bisa perkara perdata membawa akibat hukum pada semua partai politik peserta Pemilu. Pihak lain tidak boleh dirugikan.

Kelima, KPU dihukum membayar ganti rugi sebesar 500 juta rupiah. Benarkah telah dibuktikan adanya kerugian materiel dari Partai Prima sebesar itu? Lagi pula aneh amar Putusan ini, di satu sisi proses dihentikan dan menunda Pemilu demi kepentingan Partai Prima, tetapi di sisi lain Partai Prima dapat “untung” 500 juta.

Memang berlebihan dan di luar kewenangan Pengadilan Negeri untuk memutuskan perkara “sengketa” seperti ini. Kejanggalan mencolok dari Putusan ini pantas menimbulkan berbagai dugaan. Karenanya Komisi Yudisial harus turun tangan.

Tiga Hakim yang mengadili perkara ini yaitu T. Oyong (Ketua) dan dua Hakim Anggota H Bakri dan Dominggus Silaban patut untuk diperiksa oleh Komisi Yudisial. Adakah ketiganya melakukan pelanggaran etik atau pedoman perilaku sehingga patut untuk dikenakan sanksi?

Aspek lain adalah Majelis Hakim yang tidak menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai yang hidup dalam masyarakat adalah penentangan keras publik atas agenda penundaan Pemilu.
Sebaliknya muncul dugaan kuat bahwa Majelis Hakim telah ikut dalam permainan politik untuk menunda Pemilu. Bermain di angka 2 (dua) 4 (empat) dan 7 ( tujuh)!

Majelis Hakim di tingkat Pengadilan Tinggi diharapkan dapat meluruskan Putusan PN yang dinilai tendensius dan kontroversial ini. Putusan Pengadilan Tinggi dapat membatalkan Putusan PN dan Niet Onvankelijke verklaard (NO) atas dalil bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara a quo.

M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Bandung, 3 Maret 2023

Artikel Terkait

Back to top button