OPINI

Korupsi Politisi, Kapan Berlabuh?

Politisi hanyalah serigala rakus yang memakai topeng seolah baik—mereka bukan patriot, juga jauh dari idealis, uang adalah segalanya bagi mereka. (Tere liye, novelis)

Menarik kutipan dari seorang novelis di atas. Alih-alih fiksi, fakta berbicara. Belum lama berselang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan seorang politisi kawakan dari salah satu partai besar negeri ini. Yaitu Idrus Marham. Bersamanya sebagai tersangka, ada Eni Saragih dan pengusaha Johannes B. Kotjo, pemegang saham BlackGold Natural Resources Limited. Kasusnya dugaan suap proyek PLTU Riau-1 (tempo.co). Belakangan kasus yang terbaru pun mencuat di berita. Tak tanggung-tanggung dari 45 anggota DPRD Kota Malang, 41 di antaranya terjerat kasus korupsi. Rombongan terduga koruptor tersebut terjerat dugaan kasus suap pembahasan APBD-P Pemkot Malang Tahun Anggaran 2015. Akibatnya, proses pembangunan di Kota Malang terancam lumpuh total (kompas.com, 4/9/2018). Publik pun dibuat heboh. Dua kasus di atas seakan hanya menambah daftar sebelumnya. Sebelumnya tiga politisi juga didakwa menerima suap dari proyek e-KTP saat masih menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014. Ganjar disebut menerima suap 520.000 dolar AS, Yasonna 84.000 dolar AS, dan Olly 1,2 juta dolar AS (kompas.com,13/12/2017).

Tak dapat disangkal, budaya korup sudah menggejala. Apalagi tak hanya menjaring para anggota legislatif tapi juga pemerintahan. Dari kompas.com, Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan KPK, Ranu Wiharja mengungkapkan, sejauh ini terdapat 18 gubernur dan 343 bupati/wali kota terjerat kasus korupsi.

Ranu Wiharja juga menceritakan metamorfosis korupsi, “Awalnya korupsi hadir itu untuk mempertahankan hidup, dilakukan PNS pangkat rendahan, namun merambah ke pelaku usaha yang bukan untuk bertahan hidup tetapi serakah. Selanjutnya, korupsi dilakukan oleh politisi untuk mempertahankan kekuasaan,” katanya (kompas.com).

Gamblang sudah, sosok politisi dan pemimpin rakyat yang harusnya representasi sebuah idealisme seolah justru mabuk dengan fulus dan kekuasaan. Slogan demokrasi – dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat – dibuat bagaikan pepesan kosong. Minus makna, apalagi implementasi. Miris. Bila dibiarkan bukan mustahil bakal terulang lagi dan lagi.

Meski harus diakui beragam solusi telah dan sedang diupayakan. Utamanya dalam membasmi korupsi sejak dulu. Antara lain dengan membentuk lembaga pemberantas korupsi. Seperti Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak pada tahun 1987, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999 dan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) pada tahun 2005. Hingga KPK yang didirikan tahun 2003 lalu.

Selain itu, tak sedikit perangkat aturan yang bernafas sama: anti korupsi. Beberapa di antaranya, UU RI nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Keppres RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN, dan masih banyak lagi. Namun tetap saja penyalahgunaan anggaran negara terjadi. Bahkan semakin eksis. Mau sampai kapan?

Demokrasi, biang kerok?

Ya, sebab demokrasi meniscayakan ongkos politik yang mahal. Mengutip dari liputan6.com terkuak modal untuk maju sebagai calon anggota legislatif tidak sedikit. Minimal si calon legislator (caleg) harus merogoh kocek hingga Rp 1 miliar. Seperti yang dikatakan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo, “Untuk pemilihan langsung seperti sekarang ini. Kalau caleg itu benar-benar serius dibutuhkan paling sedikit Rp 1 miliar. Kecuali kalau hanya iseng-iseng berhadiah,” singkatnya (23/4/2013). Luar biasa! Untuk apa saja biaya sebesar itu? Masih menurut Bambang, alokasinya antara lain, akomodasi ke daerah pemilihan mencakup transportasi dan penginapan.

Belum lagi biaya kampanye (Logistik atau atribut, seperti kaos, spanduk, kalender, umbul-umbul, baliho, iklan di media lokal). Tak ketinggalan biaya bantuan sosial seperti perbaikan musala, masjid, gereja, jalan desa, dan lain-lain. Juga biaya pengumpulan massa serta biaya saksi di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Berkisar Rp 50 ribu – Rp 100 ribu per-orang (liputan6.com)

Demikianlah semata meraih kursi, miliaran melayang. Tak urung bila terpilih, tak sedikit yang mengharap modal kembali. Jalan pintas pun ditempuh, menilap uang haram salah satunya.

Tak pelak kasus korupsi politisi menambah buram potret demokrasi. Mengharap lahirnya figur yang amanah semakin jauh dari kenyataan. Terlebih demokrasi memang tak kenal halal dan haram. Sekularisme yang menjadi asasnya menolak campur tangan syariat Sang Pencipta. Maka lambat laun perilaku mengambil sesuatu yang bukan hak menjadi hal biasa. Rasa takut karena yakin akan pengadilan di hari kiamat seolah menguap entah ke mana. Layak menyeruak tanya retoris, masihkah bisa berharap pada demokrasi?

Berantas tuntas korupsi dengan Islam

Berbeda dengan demokrasi, Islam mendasarkan segala sesuatunya pada iman. Yaitu keyakinan yang kokoh pada Allah, Rasulullah saw. dan risalah Nabi juga hari perhitungan kelak. Konsekuensinya menuntut selalu tunduk pada syariat. Bukan memperturutkan akal manusia dan hawa nafsu seperti pada demokrasi. Namun semata taat pada aturan Allah yang menghadirkan solusi segala problem kehidupan, termasuk cara mencegah korupsi.

Maka Islam mewajibkan negara menjamin pelaksanaan sanksi pidana. Tujuannya untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku. Juga mencegah yang lain melakukan hal serupa. Korupsi dalam syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang.

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret.” (HR Abu Dawud).

Maka korupsi termasuk dalam bab ta’zir yang hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh dalil dalam Alquran, tetapi diserahkan kepada qadhi (hakim).

Bentuk ta’zir untuk koruptor bisa berupa hukuman tasyhir (pewartaan atas diri koruptor; misal diarak keliling kota atau di-blow up lewat media massa), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun; selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).

Sistem Islam juga menerapkan sistem penggajian yang layak. Sabda Rasulullah Saw, “Siapa pun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan, hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah.” (HR. Abu Dawud).

Islam juga mengharuskan negara melakukan penghitungan harta kekayaan dan pembuktian terbalik bagi para pejabat. Pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab, beliau selalu menghitung harta para Wali (gubernur) dan Amilnya.

Tuntas sudah penerapan Islam akan menumbuhkan suasana keimanan di penjuru negeri. Setiap orang akan merasa selalu diawasi oleh Dzat yang Maha Melihat dan tak pernah tidur. Senantiasa sadar bahwa akan ada hisab atas segala amal dan perbuatan manusia. Kelak di hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya. Maka hadirnya sosok amanah niscaya hanya dengan Islam. Salah satunya, khalifah Umar Bin Abdul Aziz ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya. Subhanallah. Wallahu a’lam.

Wd. Deli Ana
Pendidik, tinggal di Kendari

Artikel Terkait

Back to top button