OPINI

Mas Menteri dan Monster Liberal

Saya dipilih menjadi menteri karena saya mengerti apa yang akan terjadi di masa depan.

Itu adalah ucapan Nadiem Makarim setelah dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, 2019 lalu. Ucapan Nadiem itu bisa menjadi ucapan yang fenomenal dan malah mungkin bisa menjadi “Quote of the Year” atau ungkapan paling dahsyat tahun itu.

Nadiem mengerti apa yang terjadi di masa depan, bukan berarti dia dukun, paranormal, atau ahli nujum. Ia mengetahui masa depan melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasainya.

Mas Menteri Nadiem mungkin tahu masa depan karena merasa menguasai sains dan teknologi. Tapi, hari-hari ini Mas Menteri terbelit dalam pusaran kontroversi hebat yang membuat dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah meninggalkannya, karena kebijakan pendidikannya yang melupakan dan mengabaikan peran dua organisasi besar itu di masa lalu.

Mungkin karena lebih fokus ke masa depan, Nadiem lupa dan bahkan abai terhadap masa lalu. Dia abai bahwa Muhammadiyah yang berdiri pada 1912 dan NU yang berdiri pada 1926, sudah memberikan kontribusi pada pendidikan bangsa jauh sebelum Indonesia merdeka.

Karena itu Nadiem memilih menyalurkan dana hibah pendidikan puluhan miliar rupiah kepada Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation, yang dianggapnya sebagai organisasi masa depan, daripada kepada NU-Muhammadiyah yang dianggap representasi masa lalu.

Sejarah sering dianggap sebagai bagian masa lalu yang harus masuk arsip dan dikunci rapat. Siapa memahami masa lalu akan menguasai masa depan. Ungkapan ini hanya dianggap sebagai jargon semata, karena sejarah masa lalu hanya dianggap sebagai rangkaian peristiwa kronologis saja.

Sejarah adalah proses, dari tesis yang bertemu anti-tesis dan kemudian melahirkan sintesis baru yang sempurna. Itulah proses sejarah. Manusia lahir sebagai mahluk fisik-jasad dan mahluk rohani. Bayi yang baru lahir adalah manusia sama dengan manusia dewasa lainnya. Tetapi sang bayi adalah manusia yang belum sempurna. Ia membutuhkan proses untuk menjadi manusia sempurna. Proses itulah yang disebut sejarah.

Karena itu, tidak mungkin bisa menjadi manusia sempurna di masa depan, tanpa ada masa lalu, karena masa lalu akan menentukan masa depan.

Pendidikan adalah proses sejarah dalam artian menjadikan manusia kecil yang belum sempurna menjadi manusia dewasa yang tercerahkan, yang secara intelektual mencapai masa akil balig.

Pendidikan harus menjadikan manusia sempurna baik sebagai manusia akal dan manusia rohani. Manusia yang akalnya maju karena punya ilmu pengetahuan hebat, tapi rohaninya kosong disebut sebagai manusia yang belum akil balig.

Untuk mencapai kesempurnaan akal dan rasio manusia memerlukan ilmu pengetahuan. Sedangkan untuk menyempurkan rohaninya manusia membutuhkan agama.

Sejak abad pertengahan ketika gerakan Renaissance melanda Eropa orang mulai lebih fokus pada akal dan mengabaikan rohani. Sapire Aude, gunakanlah akalmu, menjadi motto Renaissance yang kemudian melahirkan gerakan positivisme yang menjadi cikal bakal ilmu pengetahuan.

Positivisme menganggap bahwa hanya benda material yang bisa dibuktikan oleh ilmu pengetahuan dianggap nyata, sehingga benda non-material dianggap tidak ada karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.

Agama dianggap tidak ilmiah karena tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan. Manusia menjadi fokus utama, bukan Tuhan. Apa yang baik bagi manusia itulah yang baik bagi dunia. Humanisme memberi peran seluas-luasnya bagi manusia dan semakin menghilangkan peran agama dan Tuhan.

Humanisme berkembang menjadi liberalisme. Sains dan ilmu pengetahuan menggantikan agama dan Tuhan. Dengan sains manusia bisa mencapai apa saja, kebahagiaan, kemakmuran, dan bahkan keabadian dan keilahian.

Dengan ilmu pengetahuan manusia bisa mengalahkan penyakit dan memperpanjang umur. Sebelum ditemukan vaksin anti-flu 50 juta manusia mati dalam rentang dua tahun 1918-1920 karena virus Flu Spanyol. Hari ini tidak ada manusia mati karena pilek. Vaksin anti flu memperpanjang usia manusia, bukan Tuhan. Demikianlah pandangan kelompok humanis-liberal itu.

Sains berkembang tanpa batas. Penyakit-penyakit yang mematikan manusia sudah ditemukan penangkalnya (Vaksin anti-Corona sebentar lagi ditemukan). Dengan bioteknologi manusia bisa menggantikan sel-sel tubuh yang rusak dan tua. Sains bisa mengetahui sebuah janin sehat atau tidak. Sains juga bisa merekayasa embrio untuk mendapatkan bayi dengan kualitas terbaik.

Sains tidak bisa melawan kematian karena mati adalah takdir. Tidak! Kata para liberal itu. Mati bukan takdir, mati adalah masalah teknis karena jantung berhenti bekerja dan batang otak tidak berfungsi. Kalau ilmu kedokteran bisa membuat jantung tetap berdenyut dan batang otak tetap berfungsi maka kematian bisa dihindari. Sampai berapa lama usia manusia, 100 tahun, 150 tahun, abadi, tak bisa mati..

Manusia yang selama ini disebut sebagai manusia budaya, Homo Sapiens, sudah berubah menjadi Homo Deus, Manusia Tuhan, seperti dewa-dewa Yunani Zeus dan kawan-kawan dan dewa-dewa Hindu Betara Guru dan teman-temannya, mereka dewa, imortal, tidak mati, tapi tetap punya sifat kemanusiaan. Sains dan ilmu pengetahuan bukan cuma menantang Tuhan, tapi berniat mengkudeta Tuhan. Itulah pandangan para liberal.

Pendidikan yang memuja sains dan ilmu pengetahuan adalah pendidikan liberal yang ingin menghapuskan agama dan Tuhan dari kurikulum pendidikan. Inilah yang terjadi belakangan ini dengan munculnya kurikulum baru yang semakin mempersempit pendidikan agama.

Manusia yang menguasai sains dan ilmu pengetahuan tanpa punya roh keilahian adalah manusia pincang, manusia satu dimensi, One Dimensional Man, yang tidak utuh dan berbahaya. Ia akan playing God, bermain menjadi Tuhan. Manusia hasil pendidikan liberal akan menjadi monster seperti Dr Jekyll dan Tuan Hyde.

Mas Menteri Nadiem tahu masa depan sains dan ilmu pengetahuan liberal yang dahsyat. Tetapi, tanpa Tuhan, pendidikan liberal hanya melahirkan monster-monster yang mengerikan.

Presiden Jokowi masih punya cukup waktu dan kekuasaan untuk menghentikan produksi monster-monster itu, kalau dia mau. (*)

Dhimam Abror Djuraid
Jurnalis Senior

Artikel Terkait

Back to top button