SUARA PEMBACA

Mengintip Wajah Baru Senayan

Sah! DPR periode 2019-2024 telah dilantik. 575 anggota DPR RI hasil pemilu telah resmi menjabat di Gedung ‘Kura-Kura’. Para anggota DPR itu pun disumpah. Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengambil sumpah jabatan para anggota DPR. Sumpah atas nama Allah bahwa mereka akan memenuhi kewajibannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.

Uniknya, belum lama sumpah itu terucap, hampir setengah anggota DPR dan DPD tak menghadiri sidang paripurna MPR, Rabu, 2/10/2019. Dari 711 anggota DPR dan DPD, hanya 378 anggota yang hadir. Tugas perdana tak diselesaikan dengan baik.

Di sisi lain, wakil rakyat yang baru ini akan mendapat gaji yang tak biasa. Mengutip laman detikfinance.com, 2/10/2019, gaji dan tunjangan anggota DPR dimuat dalam Surat Edaran Setjen DPR RI. Disitu disebutkan, gaji pokok anggota sebesar Rp4.200.000. Selain mendapat gaji pokok, anggota juga mendapat sejumlah tunjangan, yaitu tunjangan istri Rp420.000, tunjangan anak Rp168.000, uang sidang/paket Rp2.000.000, tunjangan jabatan Rp9.700.000, tunjangan beras Rp198.000, dan tunjangan PPh Rp1.729.608. dan masih banyak tunjangan-tunjangan lain yang diperoleh para legislator baru.

Tak hanya gaji pokok, tunjangan, dan anggaran yang baru, wajah-wajah baru akan menghiasai senayan. Dari kalangan artis pendatang baru hingga kaum milenial. Seperti apa wajah baru senayan? Mari kita intip.

Pertama, pimpinan baru DPR RI. Puan Maharani terpilih menjadi ketua DPR perempuan pertama di Indonesia. Sebagai partai pemenang pemilu, PDIP berhak menempati kursi nomor wahid, yakni posisi ketua DPR RI. Pimpinan lainnya berasal dari partai pemenang pemilu. Diantaranya adalah Sufmi Dasco Ahmad dari Gerindra, Rahmat Gobel dari Nasdem, Aziz Syamsuddin dari Golkar, dan Muhaimin Iskandar dari PKB. Praktis, kekuasaan DPR ada dalam genggaman partai koalisi pendukung Jokowi-Makruf. Dengan formasi ini, wajah DPR serasa milik partai penguasa. Tak ayal, formasi ini dianggap memuluskan jalan program pemerintahan Jokowi periode kedua.

Kedua, hampir separuh –yakni 262 orang- anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024 berlatar pengusaha. Para pengusaha yang duduk di kursi dewan itu teraflliasi dengan 1.016 korporasi. Komposisi senayan yang didominasi pengusaha dikahwatirkan rentan konflik kepentingan. Tak benar-benar mewakili suara hati rakyat. Semakin membuktikan bahwa korporasi memiliki andil besar mengontrol negeri ini.

Ketiga, gaji dan tunjangan cukup besar. Di tengah utang negara yang melangit, mereka masih sempat menaikkan anggaran DPR sebanyak Rp833 miliar dari pagu awal yang sebesar Rp4,28 triliun menjadi Rp5,11 triliun. Di saat rakyat bersusah payah memenuhi kebutuhan pokoknya, berbagai subsidi dicabut, pajak dan iuran BPJS naik, para anggota DPR ini justru mendapat banyak tunjangan yang dinilai tak sedikit. Sangat tak berimbang dan berkeadilan. Belum lagi tunjangan hari tua dan pensiun anggota DPR. Nilainya juga cukup fantastis, yaitu Rp7,2 miliar. Tunjangan itu rasanya tak sebanding dengan berbagai produk UU yang merugikan rakyat.

Keempat, RUU bermasalah yang tertunda. Setelah sempat mendapat aksi dan kecaman dari kalangan akademisi dan mahasiswa, sejumlah RUU bermasalah ditunda pengesahannya. Bagaimana kelanjutan RUU KUHP, RUU P-KS, RUU pertanahan dan lainnya? Akankah anggota DPR baru mampu menampung aspirasi rakyat? Sejauh yang kita lihat, selama ini Undang-Undang yang dihasilkan dari Gedung Senayan itu banyak yaang tidak pro rakyat. Belajar dari pendahulu mereka, UU KPK tetap disahkan meski banyak mendapat kecaman dan protes masyarakat.

Dengan mengintip beberapa hal dari wajah senayan yang baru, tak akan ada banyak perubahan berarti. Wajah boleh berbeda, namun pola mereka sama. Sebab, mereka terpiih dari hasil pemilu ala demokrasi yang banyak melahirkan pejabat korupsi. Manis di muka pada akhirnya menipu juga. Sudah banyak contohnya. Memanfaatkan jabatan untuk kesenangan pribadi. Terlebih, formasi pimpinan DPR berpotensi jinak-jinak merpati. Mudah mengikuti kemauan rezim saat ini.

Komponen para anggotanya juga tak jauh beda. Masih didominasi pejabat lama dan artis ibukota. Hal ini menjadi tantangan bagi mereka untuk menjawab keraguan publik atas kinerja mereka. Jangan sampai ada kesan pejabat negara hanya memakan gaji buta. Tak memihak rakyat, tapi makan gaji dari pajak rakyat.

Catatan ini untuk para wakil rakyat. Mereka harus siap berhadapan dengan rakyat bila mendukung kebijakan tak pro rakyat. Mereka adalah wakil rakyat. Sudah semestinya bekerja demi kepentingan rakyat, bukan konglomerat. Bisakah menghapus jejak korupsi yang sudah melekat kuat? Mampukah bekerja tanpa embel-embel kepentingan?

Ingatlah sumpah jabatan itu. Sumpah atas nama Allah bahwa kalian bekerja untuk mengemban tugas sedail-adilnya. Allah mencatat itu semua. Rakyat pun menyaksikannya. Bila tak mampu menjalankan amanah, rakyat siap mengkritisinya. Harus ada perubahan dari wajah baru senayan. Menjadi wakil rakyat yang amanah, jujur, dan takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kepribadian semacam itu hanya terwujud ketika Islam dijadikan pedoman dalam berpolitik dan bernegara.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button