OPINI

Menyoal Kebijakan Harga Jenis BBM Umum

Dalam tiga bulan terkahir, harga minyak mentah (crude) dunia berkisar pada level U$ 65 hingga US$ 80 per barel (West Texas Intermediate, WTI). Harga tersebut lebih rendah dibanding harga crude rata-rata 2022 yaitu UU$ 98 per barel. Sebanding dengan harga global, Indonesian Crude Price (ICP) juga ikut berfluktuasi.

Sepanjang 2022, ICP berfluktuasi dari US$ 85,89 pada Januari 2022, mencapai harga tertinggi, US$ 117,61 pada Juni 2022 dan turun menjadi US$ 76,6 pada Desember 2022. Secara rerata ICP pada 2022 adalah US$ 97 per barel.

Karena perubahan harga crude di atas, harga BBM domestik, terutama jenis BBM umum (JBU) juga ikut berubah. Sebab, harga BBM akan berubah, turun-naik sesuai perubahan harga crude, di samping berubah terhadap kurs US$/Rp.

Kebijakan harga JBU, seperti Pertamax, BP92, Shell Super misalnya, ditetapkan oleh Badan Usaha dan dilaporkan kepada Menteri ESDM sesuai formula harga yang ditentutan Pemerintah, yakni Kepmen ESDM No.62K/12/2020.

Menyangkut harga JBU, karena adanya berbagai kepentingan, ternyata persoalan selalu saja muncul. Meskipun Badan Usaha telah diberi wewengan menetapkan harga sesuai Kepmen ESDM No. 62K di atas, faktanya BUMN/Pertamina tidak otomatis dapat menetapkan harga JBU sesuai formula harga. Hal ini tentu dapat mengganggu pelayanan dan kelangsungan hidup BUMN. IRESS menganggap perlu membahas dan menyoal masalah ini.

Seperti diketahui ada tiga jenis BBM beredar di Indonesia sesuai Perpres No.117/2021 tentang Perubahan Ke-3 Perpres No.191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga BBM. Ketiga jenis BBM tersebut adalah Jenis BBM tertentu (JBT, kerosin, solar dan biosolar), Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP, Pertalite), dan Jenis BBM Umum (JBU, Pertamax, Pertamax Turbo, BP92, dll). JBT merupakan BBM besubsidi, JBKP adalah BBM berkompensasi. Sedangkan JBU adalah BBM non-subsidi yang dijual sesuai harga keekonomian.

Semula Pertalite (Oktan 90) masuk kategori JBU, BBM non-subsidi. Namun berdasarkan Kepmen ESDM No 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tanggal 10 Maret 2022, Pertalite berubah menjadi JBKP. Pertalite diecer di seluruh wilayah Indonesia dengan harga ditetapkan pemerintah. Pertalite tergolong BBM bersubsidi, meskipun disebut BBM berkompensasi. Sebab pemerintah akhirnya akan membayar kompensasi kepada Badan Usaha, jika harga jual Pertalite lebih rendah dari harga keekonomian.

Kompensasi biasanya dibayarkan pemerintah kepada Badan Usaha di belakang, atau awal tahun berikutnya, setelah dilakukannya perhitungan realisasi harga dan audit, sehingga hal ini sering menjadi penyebab masalah cashflow BUMN. Kondisi semakin parah jika harga crude naik, sementara harga jual Pertalite tetap. Untuk itu, BUMN sering harus membayar dimuka dengan biaya bunga, atau cost of money yang cukup besar.

Kembali kepada masalah JBU, meski Kepmen Kepmen ESDM No.62K/2020 memberi wewenang kepada Badan Usaha menetapkan harga, ternyata BUMN tidak dapat menggunakan secara otonom. Intervensi dari luar tampak selalu ada. Tujuannya antara lain agar harga JBU, terutama Pertamax, tidak naik, atau selisih harga dengan harga Pertalite menjadi minimal. Sehingga peralihan dari Pertamax non-subsidi ke Pertalite bersubsidi dapat dicegah atau berkurang. Jika hal ini yang menjadi tujuannya, mengapa BUMN juta tidak diberi kompensasi?

Padahal, pada sisi lain pemerintah justru membiarkan Badan Usaha asing seperti Shell atau BP untuk menjual JBU-nya sesuai formula harga yang ditetapkan dalam Kepmen ESDM No.62K/2020. Perlakuan yang tidak adil ini telah menimbulkan kerugian signifikan bagi BUMN. Pertamina “terpaksa” menjual JBU, Pertamax atau Pertamax Turbo lebih rendah dari harga keekonomian sesuai formula harga dalam Kepmen ESDM No.62K/2020.

Kita bisa melihat berbagai fakta lain tentang perlakuan tidak adil terhadap BUMN. Misalnya, badan usaha asing atau swasta nasional milik oligarki bisa bebas membuka SPBU di kota-kota besar dan hal ini tentu menggerogoti bisnis BUMN. Sementara asing/swasta tidak wajib membuka SPBU di daerah-daerah minim konsumen. BUMN pun harus menjalankan tugas perintisan di wilayah terpencil, terluar atau tertinggal, sementara perusahaan asing/swasta bebas dari kewajiban atau membayar kompensasi atas tugas tersebut. Kebijakan tidak adil ini telah mengurangi kemampuan BUMN melakukan cross-subsidy.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button