OPINI

Minyak Mengudeta Presiden?

Masalah minyak goreng yang hingga kini tak pasti dan tak jelas, justru menjelaskan sejelas-jelasnya tentang narasi, refleksi dan faktualisasi bahwa Presiden Republik Indonesia yang bernama Joko Widodo itu, mengindikasikan sudah lemah lunglai, lalai, tak mampu, dan sudah tak berdaya lagi memimpin dan mengurusi negara dan bangsa ini.

Itu diekspresikan, ketika tiba-tiba minyak goreng menghilang, jadi barang langka, kemudian muncul kembali dengan harga selangit.

Rakyat yang baru melepas lelah dan stress luar biasa karena menghadapi pandemi Covid-19 antara mempertaruhkan nyawa hidup-mati, terhentak dan terkaget sangat luar biasa.

Boleh jadi dalam hati mereka ingin teriak menjerit histeris sekuat-kuatnya , tapi apa daya, karena rakyat kita memang penyabar — “tapi apakah ini karena korban sejarah kolonial?”, “manut lan nunut” kepada penguasa, mereka rela ngantri berjam-jam hanya untuk mendapatkan minyak goreng curah, yang sesungguhnya hanya ampas dari minyaknya, pasti sangat rendahlah mutunya.

Ditambah baru-baru ini harus pula memiliki aplikasi peduli lindungi sebagai syarat membeli tetap sama minyak curah yang bagi rakyat kecil dan miskin justru mempersulit pula. Apalagi yang didapatnya bukan minyak goreng “murni dan kualitas beneran” yang harganya sudah tak terjangkau rakyat lagi.

Tapi ya itulah, meski rakyat sudah demikian sabar, yang namanya rezim penguasa tetap saja mengelak, alasannya jelas mengada-ada: itu disebabkan kondisi krisis pangan mondial, bahkan perang Rusia-Ukraina sampai dibawa-bawa.

Padahal, faktanya kita ini dikenal justru sebagai produsen terbesar dan nomor satu kelapa sawit di dunia, penghasil CPO, bahan dasar pembuatan minyak goreng.

Ini sudah pastilah seharusnya bisa menggerus dan melibas habis premis dan praksis mekanisme pasar yang menguasai agregasi ekonomi dunia sekalipun. Sedangkan, ini sekadar pasar domestik di dalam negeri Indonesia sendiri.

Boleh dong demi kepentingan nasionalisme, kita bisa memprioritaskan produksi dan stoke-nya untuk kepentingan rakyat kita terlebih dahulu mengendalikan kebutuhan dan harganya.

Menjadi tidak perlulah kemudian minyak goreng itu menghilang, dan tiba-tiba dibandrol menjadi barang yang sangat mahal untuk suatu produk kebutuhan pokok! Yang efek domino politik dan ekonominya , dalam tradisi bangsa kita sudah dirasakan kerawanan stabilitasnya berbareng terdongkrak dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Sungguh, rakyat semakin terhimpit dan menderita karenanya.

Kuncinya, ini menjelaskan bahwa negara sebagai pelindung rakyat tak hadir, sosok Presidennya sebagai penjaga lemah, lunglai, tak mampu, dan tak berdaya mengurusinya, bahwa minyak goreng itu sudah bukan lagi milik negara yang bisa dikendalikan harganya: sudah terbentur, tergerus terjerembab, dan terjerat mekanisme pasar, pertanda sudah mengukuhkan minyak goreng itu dikuasai oleh para oligarki korporasi.

Dan tampaknya negara dengan pemerintahnya sudah menyerah, karena sudah nyaris enam bulan tak beranjak berubah dan tanpa perbaikan, seolah tanpa solusi!! Hingga tiga kali pergantian menteri perdagangan pun hanya mengurusi minyak goreng tak ada arti dan gunanya.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button